Episode VIII

3.6K 401 12
                                    

Di tempat ini, tiga puluh tiga tahun lalu, orang tua Prana pernah melangsungkan pernikahan. Dengan balutan kebaya dan baju adat, keduanya tampak bahagia bersanding di pelaminan. Tatapan bahagia keduanya terpancar saat kamera mengabadikannya. Prana bisa melihat itu dari foto yang sejak kecil selalu dilihatnya.


Prana dan Alya mengalami hal itu. Mereka akan menikah hari ini. Mereka akan saling berbagi kebahagiaan dengan ratusan tamu. Orang-orang yang sebenarnya tidak mereka kenal. Kebanyakan rekan orangtua dan kakeknya. Tapi, semuanya juga berbahagia melihat mereka.Melewati fase menyebalkan saat harus berurusan dengan WO sudah dilewati. Ini pengalaman keduanya. Mereka sama sekali tidak menyangka jika persiapan pernikahan jauh lebih menyebalkan. Tapi, semuanya sudah lewat.


Pagi tadi, Prana berkali-kali melihat dirinya dari pantulan kaca. Menggunakan baju pengantin membuatnya terasa berbeda. Ini seperti tugas baru yang harus dikerjakannya dengan baik.


Aku akan menikah.


Menikah adalah sesuatu yang sudah lama Prana rencanakan dalam hidupnya. Hidup berdua bersama perempuan yang begitu dicintainya pernah ada dalam mimpi laki-laki itu. Membangun kasih hingga menua bersama. Prana menginginkan itu.


Laki-laki tersenyum. Ada kehampaan yang hinggap dalam hatinya mengingat itu. Sesuatu yang ingin dikuburkannya. Jauh dari lubuk hatinya, ada luka yang menganga. Prana mencoba menggubrisnya. Ia tidak boleh memikirkan luka. Bagaimana bisa memikirkan sesuatu yang menyakitkan jika di sampingnya, ada seorang perempuan cantik-yang sebentar lagi menjadi istrinya.


"Kamu cantik sekali," Prana berbisik.


Perempuan di sampingnya menoleh. Pipinya sudah memerah. Antara riasan di pipi dan semburat malu menyatu di wajah putih mulus itu. Alya langsung menundukkan pandangannya. Ia sangat malu. Ia tahu jika perempuan di dalam cermin rias itu bukan dirinya. Dengan sanggul dalam balutan kebaya putih bukan Alya yang wajahnya polos.


Dada Alya berdegup saat tangan besar Prana menggenggam tangannya. Keringat dingin mulai bermunculan. Alya yakin jika bukan karena dinginnya AC di ruangan ini, orang-orang dapat melihat bulir jagung yang keluar dari keningnya. Perempuan itu mencoba menarik napas pelan-pelan. Ia tidak boleh gugup. Bukan dirinya yang akan mengucap ijab qabul. Bukan dirinya yang akan menjabat tangan Kakek Hamid tapi laki-laki tampan di sampingnya.


"Baiklah. Mari kita mulai acara akad nikah hari ini," petugas dari KUA-Kantor Urusan Agama-memulai.


Prana langsung melepas genggaman tangannya. Ia mulai mengikuti proses sakral sekali seumur hidupnya itu. Acara diawali dengan nasihat yang diberikan petugas. Prana tidak dapat mendengar dengan sempurna. Pikirannya berkelana pada sosok perempuan di sampingnya. Tentang Alya yang begitu baik. Sesaat, perasaan ragu justru bergelayut dalam pikirannya. Apakah ia mampu membahagiakan perempuan baik nan cantik itu? Rasa-rasanya kekuatannya tidak akan mampu menjaga senyum Alya terus mengembang dari bibirnya.


Aku tidak boleh menyerah.


"Silakan, Alya."


Prana tidak menyadari hingga ia melihat microphone dihadapkan pada perempuan cantik itu. Tangan Alya terlihat bergetar saat berpegangan pada gagang pengeras suara. Perempuan itu sepertinya gugup. Prana dapat mendengar Alya berkali-kali menghembuskan napas berat.


"Bismillahirahmanirrahim," Alya memulai. "Kek, Alya bersyukur memiliki kakek seperti Kakek Hamid. Kakek telah membesarkan Alya sejak bayi hingga dewasa. Tidak terhitung pengorbanan Kakek dalam membesarkan Alya. Terima kasih Alya ucapkan selama dua puluh tahun Kakek membesarkan Alya," Perempuan itu sejenak mengambil napas. "Kek, Alya minta maaf selama ini. Selama dua puluh tahun hidup bersama Kakek, Alya sering menyusahkan."


Mencoba terdengar biasa adalah hal yang sulit Alya lakukan. Selalu ada cairan yang menetes keluar dari kedua bola mata dan hidungnya setiap kali ia mengambil napas. Bunda Mei yang berada di belakangnya langsung menyerahkan beberapa lembar tisu. Sejujurnya, Alya tidak ingin merusak make up-nya di hari bahagianya. Tapi, membaca kalimat di atas kertas yang disodorkan padanya membuatnya mengingat masa lalunya bersama sang kakek tercinta.


"Kek, Alya meminta izin Kakek untuk menikah dengan laki-laki pilihan Alya. Alya meminta segala kerendahan hati hati Kakek untuk melepaskan Alya dalam pernikahan. Alya akan menikah dengan laki-laki baik yang insya Allah menjadi jodoh Alya hingga akhir hayat. Kek, Alya meminta izin Kakek untuk menjadi wali nikah Alya."


Oh, Alya. Cucu yang begitu disayangi melebihi nyawanya sendiri. Perempuan cantik yang dulu sering ditimang, digendong, dan dimanjakannya kini akan menikah dengan Prana. Tidak ada yang menyulitkan sekaligus membahagiakan selain merelakan cucu semata wayangnya hidup bahagia bersama orang lain.


Harusnya ia bahagia. Melihat dan menjadi wali pernikahan Alya adalah mimpinya. Ia harus bersyukur pada Tuhan yang telah memberikan umur panjang. Kelak, tidak ada lagi yang dipikirkannya jika Tuhan memintanya kembali pada-Nya.


Seandainya istrinya masih memiliki waktu di dunia, pasti perempuan itu sama bahagianya. Cucu yang dulu sering mereka limpahkan kasih sayang akan memasuki fase baru kehidupan. Tapi, ia yakin, istrinya bahagia melihat mereka di sana.


"Pak Hamid sudah siap?" perugas KUA bertanya sesaat setelah Alya meminta izin."Sudah."


Kakek Hamid menjulurkan tangan kanannya. Di hadapannya, Prana menyambutnya. Genggaman tangan itu terasa kokoh. Ada sesuatu lain yang disalurkan kedua laki-laki dewasa itu. Tentang pelepasan cucu yang dicintainya. Tentang penerimaan perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya.


Maka, ketika kedua orang saksi mengatakan "sah", Prana merasakan tanggung jawabnya semakin besar. Ada hal yang harus dijaga. Ada perempuan yang harus disayanginya.Di sinilah, fase barunya dimulai.


***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang