Episode XV

3.5K 397 7
                                    


"Hei, kok elu bengong aja. Kepikiran soal aktivitas semalam sama suami," kata Marisa. Mata perempuan itu mengerling saat menatap Alya. Ia menggoda sahabat terbaiknya.

Panas masih bergelayut di langit Kota Jakarta. Matahari seakan mengeluarkan segala daya untuk mengeluarkan teriknya siang ini. Panas dan gerah menjalar ke tubuh mahasiswa dan orang-orang yang berada di luar di Universitas Negeri Ibukota ini. Termasuk Alya dan Marisa. Kedua perempuan itu sedang duduk di kursi plastik di toko foto kopi. Mereka menunggu tugas yang sedang diperbanyak dan dijilid.

"Marisa," tegur Alya. Wajahnya menatap was-was sekitarnya. Kondisi ramai membuatnya khawatir jika-jika orang-orang sekitarnya mendengar-meski tidak ada satupun yang mengenalnya.

"Benar, ya?" goda Marisa lagi.

Alya menggeleng. Sesaat, ia menatap ragu Marisa. Apakah bercerita adalah keputusan yang tepat? Sebelum menikah, ia sering curhat dengan sahabatnya itu. Tapi, sekarang. Bercerita berarti membuka kisah dalam rumah tangganya-yang berarti tentang Prana juga.

"Ada apa, Al?" tanya Marisa. Suaranya penuh penekanan dan terdengar pelan.

Ada yang salah dengan Alya. Ia yakin hal itu. Ia sudah khatam dalam membaca mimik wajah Alya. Perempuan itu mudah sekali terbaca emosi dalam setiap mimik wajahnya. Alya tidak pandai berbohong meski hanya dari raut wajah.

Tapi, perempuan itu menggeleng. Bukankah semuanya berjalan dengan lancar? Seharusnya itu makna dari gelengan kepala Alya. Namun, Marisa masih menatapnya penuh tanya.

Alya tahu jika Marisa tidak akan melepaskannya begitu saja. Perempuan itu akan terus menodong Alya hingga ia bercerita semua pada Marisa. Ia tidak memiliki ruang untuk kabur dari sahabatnya.

Dengan satu tarikan napas, Alya berkata, "Orangtua Kak Prana ngelarang aku panggil mereka mama dan papa."

Suaranya lebih terdengar dengan bisikan. Alya bahkan tidak yakin jika gelombang suaranya mampu sampai ke telinga Marisa. Tapi, tatapan Marisa justru sebaliknya.

"Serius? Kok gitu? Kan, menantu berarti anak. Ya, mertua berarti orangtua juga!"

Alya hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Ada banyak kemungkinan jawaban yang bertengger di kepalanya. Tentang Noëlle yang disukai mertuanya. Tentang Noëlle yang seharusnya berada di posisinya. Tentang keyakinan mama mertuanya jika Prana masih mencintai perempuan itu. Semua bermuara pada Noëlle. Perempuan asal Perancis itu kini menjadi sumber kekecewaan Alya.

Tapi, Alya tahu jika menyalahkan perempuan itu tidak akan mengubah semuanya. Termasuk kemungkinan rasa cinta Prana padanya.

***

Alya sekali lagi memastikan sudah membaca dengan tepat pesan via WA-Whatsapp-suaminya. Kalimat singkat yang mengabarkan jika suaminya akan lembur. Banyak pesanan kain dari Korea hingga membuatnya harus memastikan kain-kain sutera itu dapat diproduksi sesuai dengan pesanan pelanggan.

Maka, di sinilah Alya berada. Di rumah Marisa saat sahabatnya justru masih berada di kampus. Alya membutuhkan teman berbagi cerita untuk mencurahkan segala kegundahan hatinya. Dan, Bunda Mei adalah pilihan terbaik.

Ibu kandung Marisa itu sedang santai menonton acara gosip artis di televisi saat Alya sampai. Ia harus bersyukur karena tidak mengganggu acara penting Bunda Mei. Perempuan itu langsung membawa Alya ke ruang televisi yang sepi. Untungnya, semua penghuni rumah sedang tidak ada di rumah ini. Alya bebas bercerita tentang apapun.

"Bun, apa seseorang bisa terikat pernikahan meski enggak mencintai pasangannya?"

Pertanyaan Alya justru membuat kening Bunda Mei mengerut. Ada berbagai pertanyaan dalam benaknya. Maka, sebelum Bunda Mei bertanya, Alya menceritakan masalahnya pada sosok yang ia anggap sebagai ibunya itu.

Perempuan muda itu bercerita tentang sosok Noëlle yang pertama kali ia dengar namanya dari mulut ibu mertuanya. Tentang sikap mertua dan adik iparnya. Juga tentang ucapan Rani yang menghujam hatinya.

Alya tidak tahu mengapa setiap kalimat yang ia keluarkan, dadanya terasa sesak. Ada yang menghimpitnya. Ia tidak tahu juga mengapa air matanya merembes keluar.

"Ada sikap Prana yang membuatmu ragu?" tanya Bunda Mei.

Alya menggeleng. Semua sikap dan perlakuan padanya membuatnya terhanyut. Prana sudah sangat membuatnya merasa begitu disayangi dan dicintai. Perhatian dan segala hal yang diberikan laki-laki itu membuat Alya sangat bahagia bersamanya.

"Ayahnya Marisa enggak pernah bilang cinta ke Bunda Mei sejak pacaran sampai sekarang," Bunda Mei memulai. Matanya memandang Alya. Ia tersenyum pada perempuan di hadapannya. "Tapi, tanggung jawab dan perhatian yang diberikannya jauh lebih baik dari ucapan cinta."

Kalimat itu menyentil Alya. Ego dan keinginan Alya yang justru membuatnya tersiksa sendiri. Perempuan itu meragu pada sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.

"Alya sayang, kamu enggak perlu mendengarkan suara-suara sumbang meskipun itu di sekitarmu. Bunda Mei emang ibu kandung Marisa tapi kalau ditanya apa Bunda tahu bagaimana perasaan Marisa sama teman laki-lakinya, Bunda Mei enggak tahu."

Tangan perempuan itu menggenggam tangan putih milik Alya. Katanya, "Ini pendapat Bunda Mei. Mungkin, mertuamu yang belum bisa move on dari mantan pacarnya Prana. Mungkin, itu pacar pertama Prana. Mungkin mereka berpacaran lama jadi sudah akrab dengan keluarganya. Itu pasti membekas di hati mama mertuamu. Lalu, mereka putus dan kamu hadir. Tanpa waktu yang lama, kamu justru yang dipilih Prana untuk menjadi istrinya. Itu yang bisa jadi membuat mertuamu masih belum sepenuhnya menerima kamu, Alya."

"Terus, Alya harus gimana, Bunda Mei?"

"Tetap berusaha menjadi istri dan menantu terbaik untuk mereka. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Bunda Mei yakin, beliau akan menerimamu, Alya."

Semoga. Hanya itu yang Alya mampu ucapkan dalam hatinya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang