Welcome back to my story. Terima kasih sudah memberikan bintang dan komentar kalian untuk ceritaku. Selamat menikmati. Hatur nuhun.
Home sweet home. Alya berkata lirih pada dirinya sendiri. Berdiri di depan pagar rumah kakeknya dengan perasaan sesak tidak pernah ada dalam pikiran Alya. Semuanya telah terjadi. Hatinya telah terluka.
Alya menarik napasnya kembali. Ia mencoba menguatkan dirinya sebelum tangannya membuka pagar hitam itu. Suara besi yang terdengar seiring langkah kaki Alya rumahnya. Di sinilah tempatnya kembali-tempat ternyaman. Yang pasti, di sinilah, rasa bahagia terus menghampirinya.
Alya melihat kakeknya sedang duduk dan berbincang dengan Haji Nasir-tetangga mereka-di teras rumah. Kedua laki-laki paruh baya itu terlihat akrab dalam perbincangan yang tidak diketahui Alya. Maka, ucapan salam yang keluar dari bibir Alya menghentikan keduanya.
"Ya udah, saya pulang dulu," Haji Nasir berkata pada teman masa kecilnya.
"Lho, kamu ke sini? Mana Prana?" tanya Kakek begitu Haji Nasir meninggalkan rumah ini.
"Cuma mampir, Kek. Tadi habis kerjain tugas di rumah teman."
"Udah bilang suamimu?"
Alya mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak berniat memandang lama kakeknya, takut kebohongannya ketahuan. Sebagai gantinya, matanya memandang ruangan ini. Setiap kali melihat seluruh sudut di ruangan ini pasti akan membangkitkan segala memorinya. Kenangan masa kecil bersama kakek dan neneknya. Juga indahnya kasih sayang dan cinta yang dicurahkan keduanya.
Selamanya Alya akan mencintai keduanya.
Alya tersenyum lega melihat kakek menganggukkan kepalanya. Entahlah, ia merasa selalu sensitif setiap kali melihat wajah kakeknya. Melihat kakek berbincang senyum bersama Haji Nasir membuat Alya ikut senang. Harusnya seperti itu. Sejak dulu. Bukan dipusingkan dengan segala kebutuhan hidup dan sekolah Alya. Kakek berhak menikmati masa tuanya dengan bahagia.
"Itu koper siapa, Kek?" tanya Alya melihat sebuah koper besar berwarna biru tua ada di sudut. Masih diplastik dan tersegel. Itu koper baru.
"Koper kakek. Prana membelikan itu buat kakek?"
Alya mengernyit bingung. Tapi, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut kakek menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
"Habis kamu nginap di sini, besoknya Prana datang ke sini. Dia tanya kakek mau didaftarin umroh enggak?"
"Kak Prana tanya itu ke Kakek?" Alya tidak sadar jika pertanyaan justru terdengar histeris.
"Iya," balas Kakek Hamid. "Kemarin lusa, kakek baru aja ke kantor imigrasi sama Prana buat foto paspor."
"Ke sana sama Kak Prana?"
"Sama siapa lagi memangnya," jawab kakek seraya tersenyum. "Minggu depan, kakek mau tes kesehatan. Suntik apa gitu yang buat syarat umroh," balasnya lagi.
Alya paham senyum itu saat kakeknya berbincang dengan Haji Nasir.
"Makanya tadi kakek tanya ke Nasir tentang umroh. Dia, kan, sering ke sana. Pasti lebih pengalaman."
Alya memandang lama mata itu. Tatapan Kakek Hamid yang terlihat berkilau. Alya mengerti binar itu-yang selalu dilihatnya setiap kali memandang foto Kabah di Mekkah.
Beberapa hari lalu artinya sebelum pertengkaran pertama dengan suaminya. Prana melakukan hal bukan untuk membujuknya agar tidak lagi marah pada laki-laki itu. Kenyataan jika Prana mengingat ucapannya membuat hati Alya tercubit.
Harusnya Prana tidak melakukan ini. Perhatian yang diberikan laki-laki itu tidak hanya untuknya saja tapi juga kakeknya. Seharusnya dada Alya menghangat merasakan ini. Tapi, ini justru membuat dadanya sesak.
Alya mencoba menghilangkan rasa sesak itu dengan memasak untuk kakeknya. Setidaknya ada aktivitas yang akan mengalihkan pikirannya dari Prana. Menggunakan dapur rumah kakek selalu menyenangkan bagi Alya.
Perempuan itu tahu jika tidak mudah mengingat perlakuan Prana padanya juga pada kakeknya. Fakta bahwa Prana berusaha mewujudkan mimpi kakek membuat Alya diliputi kegamangan. Laki-laki itu menggantikan Alya untuk membahagiakan kakeknya.
Alya berhasil memasak menu sederhana meski matanya terus memerah menahan tangis. Semuanya sudah selesai. Ia akan membawa makanan ini ke meja makan dan makan malam bersama kakeknya. Setidaknya itu cukup untuk menutup hari ini.
Tapi takdir terus membawanya ke arah Prana. Laki-laki itu muncul di rumah kakek saat Alya selesai memasak. Prana menikmati kebersamaannya dengan kakek di rumah tamu saat Alya akan memanggil kakeknya.
"Tuh, kamu malah ngerepotin suamimu," kata kakek melirik cucu perempuannya.
Alya tidak tahu kebohongan apa yang dilakukan Prana di depan kakeknya. Ia pun akhirnya hanya bisa mengikuti. Alya tersenyum tanpa dosa di depan kakeknya. Setidaknya ia berusaha untuk tidak menambah pikiran laki-laki tua itu.
"Makan dulu, Kek," tawar Alya.
Mereka akhirnya makan bertiga. Di meja itu, Alya melihat kembali cara kakek berbincangan dengan suaminya. Wajahnya tidak henti memancarkan kebahagiaan.
Alya memutuskan untuk bertahan. Ia akan bertahan bersama Prana meskipun dengan luka demi kakeknya. Karena dengan menjadi istri Prana, akan membuat kakeknya merasakan kebahagiaan. Bagi kakek, Alya bahagia menjadi istri Prana.
***
Next part:
"Apa selamanya kita akan kayak gini, Kak? Menikah tanpa ada perasaan cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Setelah Kemarin (Selesai)
RomancePrana meninggalkan Kota Paris dengan sesuatu yang tertinggal. Di tempat itu, ia merajut asa dan membangun mimpinya. Ketika mimpi itu musnah-hanya selangkah sebelum ia menggapainya, separuh jiwanya ia titipkan di sana. Mampukah Prana mengembalikanny...