Episode V

4.3K 472 11
                                    

Selamat menikmati. Jangan lupa bintang dan komentarnya, guys.



Ada sebuah televisi besar yang berdiri di rak kayu berwarna cokelat tua. Televisi itu diapit speaker besar yang menjulang tinggi. Di sampingnya berjejer pajangan-semacam gelas kaca kecil dan ornamen pecah belah lainnya.

Alya duduk di fofa panjang besar yang dapat memuat delapan orang. Ia mendudukkan tubuhnya di tengah. Menghadap ruangan yang begitu luas. Matanya tidak berhenti memperhatikan setiap detail yang ada di ruangan itu.

Tubuhnya sedikit ia miringkan. Di belakang sofa, ada kaca besar yang menjadi pemisah ruangan ini dengan di luar. Kolam renang yang panjang membentang di batas kaca besar itu. Alya tiba-tiba tersenyum. Pikirannya menerawang mengingat masa kecilnya. Ia yang sering merengek meminta diajak ke kolam renang umum.

"Alya."

Perempuan itu menoleh ketika namanya disebut. Prana berdiri beberapa langkah di depannya. Di samping laki-laki itu ada dua orang paruh baya. Kedua manusia yang fotonya terpampang dengan jelas di figura besar rumh Kakek Ali. Seorang perempuan yag masih cantik di mata Alya. Rambut pendek dengan gaya potongan bob membat wajahnya terlihat segar. Ia menggunakan kaca mata. Ada riasan yang membuatnya terlihat semakin menarik. Laki-laki di sampingnya terlihat jauh lebih santai. Ia menggunakan celana panjang hitam dengan kaus putih. Ada bulir-bulir keringat yang mengalir dari dahinya yang sudah terlihat garis-gars tanda penuaan.

"Pah, Mah, ini Alya," kata Prana.

Orangtua Kak Prana. Alya bergumam dalam hatinya. Ia segera melangkahkan kakinya menuju kedua orangtua Prana. Tangannya terulur mencium kedua tangan kanan keduanya. Lantas, ia memperkenalkan diri dengan sopan. Alya mengenal mereka sebagai Tante Retno dan Om Bayu.

Mereka melanjutkan perkenalan dengan duduk di sofa. Ada secangkir teh hangat yang menemani obrolan sore. Seorang ART memberikannya dengan bolu sebagai teman minum teh. Semuanya sudah terlayani dengan baik. Mereka bahkan tidak perlu repot meski hanya sekadar membuat teh.

"Kamu masih kuliah?" kalimat pertama keluar dari mulut ibu Prana.

"Iya, Tante."

"Di mana?"

"Sama kayak Rani, Mah," Prana menjawab.

Alya mengangguk menyetujui. Prana pernah cerita tentang adik perempuan satu-satunya, Maharani. Rani kuliah di Universits Negeri Ibukota mengambil jurusan kedokteran. Masih semester dua. Sepertinya, Alya sama sekali tidak kenal. Kampus mereka luas. Gedung fakultas kedokteran berada di seberang kampusnya. Fakultas mahasiswa berotak kiri itu satu area dengan fakultas kesehatan masyarakat. Teman-temannya sering bilang itu fakultas pejabat. Biasanya mahasiwa yang kuliah di sana memang orang yang uangnya setara dengan pejabat negara.

"Tante baru pulang kerja?" Alya tidak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa. Maka, yang keluar dari mulutnya hanya pertanyaan retoris itu.

"Iya," jawab Retno.

Lewat pertanyaan itu, akhirnya Alya mengetahui sedikit tentang keluarga Prana. Ibunya masih aktif bekerja sebagai manager bagian kredit di sebuah bank swasta. Masih memiliki banyak waktu sebelum menikmati masa pensiunnya. Ayahnya memiiki usaha sendiri. Mendirikan perusahaan yang tidak besar. Bergerak sebagai distributor alat kesehatan.

Tidak besar tapi sanggup membiayai kuliah Prana di Perancis.

Dalam obrolan mereka, muncul perempuan muda. Alya melihat seorang perempuan yang kelihatan sebaya dengannya. Rambutnya pirang panjang. Wajahnya menggunakan riasan meski tidak tebal. Bahu yang dibalut pakaian bermotif polkdot mengalung shoulder bag cokelat. Perempuan itu luar biasa cantik. Ia cocok bila harus bekerja sebagai model. Itu ditambah dengan tinggi badannya yang semampai. Sebagai perempuan, kepercayaan diri Alya mendadak jatuh ke titik rendah.

Keluarga ini memiliki masalah dengan wajah mereka. Semuanya terlihat menarik. Bahkan, Kakek Ali-Alya meyakini-jika masa muda laki-laki itu pasti tampan. Gen yang diturunkan Kakek Ali pasti berhasil diserap sempurna oleh tubuh mereka hingga hasilnya seperti ini.

"Itu Rani," Prana menghentikan lamunan Alya. Prana memperkenalkan kedua perempuan itu.

Entah ini hanya perasaan saja, Alya merasa ada tembok besar yang dibangun Rani pada dirinya. Sangat kokoh hingga sulit ditembus. Seperti ada hal yang membuat Alya sulit masuk ke dalamnya. Tapi, ia mencoba untuk berpikir positif. Rani baru saja pulang kuliah. Tubuh dan pikirannya lelah. Alya mencoba menyakini itu.

***

Halaman belakang rumah Prana terasa sejuk. Ada sebuah pohon tebebuya berdiri kokoh di sudut halaman. Pohon itu cukup besar dengan bagian atas yang mengembang laksana bunga yang sedang bermekaran. Itu membuat hamparan rumput hijau diselimuti bayangan daun-daun pohon.

"Alya serasa lagi di Jepang," kata Alya. Ia terkekeh melihat pohon di sekitarnya. Ia bahkan lupa kalau belum pernah ke Jepang. Bahkan, paspor saja belum pernah membuatnya.

"Nanti, pohon itu biasanya mulai tumbuh ketika musim panas."

Alya sudah bisa membayangkan bagaimana pohon tebebuya menghasilkan daun berwarna kuning nan cantik. Ia tidak menyangka jika pohon cantik seperti ini cocok dengan iklim tropis di Indonesia.

Alya mengangguk sebagai jawaban. Tangan Prana menggenggamnya-membawanya menuju gazebo di sudut lain halaman belakang. Lagi, Alya dibuat terpukau dengan desain gazebo di rumah Prana. Sepertinya, keluarga Prana adalah pecinta keindahan desain rumah.

Gazebo ini berdiri di tengah kolam ikan yang cukup besar. Ada jembatan kayu untuk melangkah ke sana. Berdesain rotundas-gazebo ini memiliki atap lingkar seperti kubah masjid. Di dalamnya, ada kursi melingkar yang menyatu dengan dinding gazebo. Di tengah kursi kayu itu, membentang meja bulat.

Prana duduk dikursi itu dengan Alya di sampingnya. Tangannya memegang map yang berisi banyak kertas. Alya tidak tahu itu apa-sepertinya dokumen penting.

Laki-laki membuka tiga buah buku tabungan dan memperlihatkan halaman tengah-yang berisi hasil print out terakhirnya seminggu lalu. Alya melihat itu sekilas. Lagi, ia dibuat terpana dengan nominal yang tertera di sana.

"Alya, aku punya rumah di Jakarta tapi enggak terlalu luas," kata Prana. "Cicilannya masih tiga tahun lagi. Itu aku beli tanpa campur tangan papa dan mama. Murni dari gajiku."

Alya mengangguk. Laki-laki dan kemandiriannya. Itu nilai istimewa bagi Alya. Tentang bagaimana perjuangan untuk memiliki sesuatu dari hasil kerja kerasnya. Itu akan membuatnya menghargai apa yang telah dibelinya.

"Tapi rumah itu masih sewa untuk setahun kedepan. Kamu masalah enggak kalau kita tinggal sama orangtuaku sementara waktu?"

Alya tersenyum. "Enggaklah. Aku malah senang tinggal sama Tante Retno dan Om Bayu." katanya riang. Ia akan memiliki orangtua yang selama ini hanya ada dalam bayangannya.

Mereka meneruskan perbincangan mengenai banyak hal. Tentang hal apa saja yang harus mereka jalankan nanti sebagai pasangan suami istri. Hak dan kewajiban yag harus mereka lakukan. Semuanya harus atas kesepakatan bersama.

Nanti, mereka akan menempati kamar Prana. Alya mencoba menghilangkan rasa penasarannya pada kamar itu saat Prana menjelaskan hal itu. Laki-laki itu belum mau membawa Alya ke ruangan pribadinya meskipun tadi mereka sempat berkeliling rumah.

Mereka tinggal di sini hingga batas penyewa rumah Prana habis waktu. Sebagai gantinya, setiap akhir pekan, mereka akan menginap di rumah Kakek Hamid. Alya tersenyum senang. Prana membuatnya tidak akan kehilangan sang kakek.

"Soal anak. Gimana pendapatmu?" tanya Prana lagi.

Alya lupa soal itu. "Alya masih semester 4, Kak. Kalau tunda sampai seenggaknya semester 7, gimana? Kan, setelah semester 7, udah enggak ada perkuliahan. Tinggal nyusun skripsi aja. Gimana menurut Kakak?"

Prana tersenyum. Oh, Alya bahkan baru sadar jika laki-laki yang akan menikah dengannya memiliki senyum yang mampu membuat hati perempuan meleleh. Tangan Prana bahkan mengelus rambutnya-itu membuat dada Alya berdesir.

"Nanti, kita konsultasi ke dokter bareng-bareng, ya."

"Makasih, Kak."

"Kalau gitu, minggu besok, aku dan orangtuaku akan melamar kamu secara resmi."

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang