Episode XXXI

3.8K 416 16
                                    

Selamat menikmati....




Di hari lain, Alya mengunjungi Kakek Hamid. Ia duduk di kursi kayu teras depan sendirian. Ia bukan penyendiri. Tapi sore ini, sendirian menikmati tanaman dan pohon mangga yang bertengger di halaman depan terasa menyenangkan.

Ini pertama kali pikiran Alya diliputi tentang keinginan kembali ke rumah masa kecilnya. Kalimat-kalimat yang diucapkan Mario kemarin bertengger erat dalam pikirannya. Beban yang ditanggungnya mungkin akan sedikit berkurang jika ia kembali ke tempat ini.

Karena bersama Kakek Hamidlah tempatnya kembali. Seperti Prana yang memiliki tujuan pulangnya, Noëlle. Inilah tempat yang membuat Alya akan bahagia. Seperti kalimat yang diucapkan Mario.

Ada logika yang harus diperjuangkan untuk mengalahkan perasaan.

Prana mengingkari logika demi memperjuangkan perasaannya pada Noëlle. Logika yang mengharuskan laki-laki itu untuk tetap bersama Alya di sini-di Jakarta-dan terus bersama istrinya. Prana harus tetap bersikap layaknya suami yang bertanggung jawab dan mencintai Alya sebagaimana istrinya. Laki-laki itu harus bisa memegang perannya dalam pernikahan mereka.

Nyatanya, Prana meninggalkannya. Alya menghela napas berat. Haruskah ia mengikuti logikanya. Bahwa seperti yang diucapkan Mario, Alya pantas bahagia dengan seseorang yang mencintainya. Ia pantas untuk dicintai.

Mungkin, laki-laki itu benar. Kuliah Alya hanya tingga membuat skripsi. Setelahnya, ia akan mencari pekerjaan dan meringankan beban Kakek Hamid. Ia pasti bisa melepas materi yang biasanya dilimpahkan Prana padanya. Ia pasti bisa. Ia hanya perlu mengembalikan kesehariannya seperti dulu, saat belum menjadi istri Prana.

"Kamu mau nginap berapa hari?" suara Kakek Hamid muncul. Laki-laki berusia senja itu berjalan ke depan Alya sambil membawa secangkir kopi dan menaruhnya di meja bundar. Ia duduk di samping Alya. Ada meja kayu yang menjadi pembatas mereka.

"Kayaknya sampai Kak Prana balik ke Indonesia," balas Alya.

Kakek mengangguk. Ada yang ganjal dari cucu kesayangannya. Selama 22 tahun bersama Alya, ia paham sekali kondisi perempuan muda itu. Tapi, ia tidak ingin berpikiran buruk. Mungkin hanya masalah rumah tangga biasa. Bunda Mei pasti sudah memberikan banyak nasihat pada Alya. Ibu dari Marisa itu seolah menjadi ibu yang senantiasa membimbing Alya. Ditambah sekarang ia memiliki mertua perempuan. Alya akhirnya memiliki seorang ibu yang dulu ia sering idamkan.

Mereka pasti sering menghabiskan waktu bersama untuk berbelanja atau memasak.

"HP-mu mati?" tanya Kakek Hamid. "Tadi Prana telepon ke rumah."

"Kapan, Kek?" tanya Alya agak terkejut.

"Barusan. Kamu sibuk bengong di sini," balas kakek. "Kenapa? Rindu suami?" godanya.

Pipi Alya memerah. Kakek Hamid yang melihat itu langsung tersenyum. Ah, semuanya memang baik-baik saja. Wajah Alya yang merona membuktikan hal itu. Alya termenung hanya karena merindukan suaminya. Cucu cantiknya benar-benar telah jatuh cinta pada suaminya. Itu membuat dadanya menghangat.

Alya memperhatikan senyuman Kakek Hamid. Ia tersenyum samar melihatnya. Hatinya seakan tercubit dengan fakta yang ia lupakan. Kakek Hamid selalu bahagia melihatnya bersama Prana.

Haruskah ia egois? Mementingkan kebahagiaannya tapi melukai perasaan kakek yang begitu dicintainya. Karena laki-laki tua yang duduk di sampinya pasti akan merasa sedih saat Alya sedih dengan kondisi rumah tangganya. Kakek Hamid jauh lebih sedih daripada dirinya. Ia yang telah membesarkan Alya dan memberikan kasih sayang luar biasa banyak.

"Prana bilang masih agak lama di Inggris," kata Kakek Hamid. Tangannya terulur menghirup bau kopi yang asapnya masih mengebul. Ia menyerumput cairan hitam itu ke mulutnya. Setidaknya kopi ini lebih baik dari pada rokok. Cucunya akan mengomel jika tahu ia mengisap batang rokok.

"Dulu, ya, kakek sering nonton Liga Inggris. Suka bingung sama penontonnya. Jarak antara penonton sama lapangannya dekat banget. Sampe bingung, kok bisa ya?" Kakek Hamid menerawang. "Lha, di Indonesia, jaraknya jauh, dihalau pakai pagar tinggi dan dijaga polisi, masih aja suka ribut sampai masuk ke lapangan."

Alya membiarkan kakeknya tetap bercerita. Ia membiarkan momen ini. Menikmati kebersamaannya dengan Kakek Hamid yang berkurang setelah ia pindah ke rumah orangtua Prana.

"Nenek kamu sering sebal kalau ngelihat kakek begadang nonton bola. Katanya buang-buang waktu. Lha, dia juga sering buang-buang waktu nonton sinetron," katanya sambil tertawa pelan.

Inilah yang akan dirindukan Alya. Cerita Kakek Hamid yang selalu menyeret memorinya ke masa lalu di mana neneknya masih hidup. Itu selalu menyenangkan untuk dikenang.

Mungkin jika ia tidak tinggal dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kakek dan neneknya, Alya tidak pernah merasa seberuntung ini. Ketidakhadiran orangtua mampu dilengkapi dengan adanya kakek dan nenek. Cinta dan kasih sayang mereka selalu tercurah padanya sebagai cucu semata wayangnya. Alya merasa beruntuk menjadi cucu kesayangan mereka.

Apakah ia sanggup melihat kesedihan kakeknya jika ia memutuskan mundur dari pernikahannya? Apakah ia sanggup mengatakan keadaan sebenarnya dalam hubungannya dengan Prana? Apakah ia sanggup menjadi seseorang yang menghilangkan senyum bahagia itu di wajah kakeknya?

Alya diliputi kegamangan luar biasa. Ia tidak tahu jalan mana yang akan dipilihnya saat Prana kembali nanti.

"Udah mau maghrib, masuk, Al. Kakek mau siap-siap ke masjid," kata Kakek Hamid.

Alya hanya mampu menatapi kepergian kakeknya. Ia berdiri. Matanya memandang kejauhan. Matahari akan kembali ke peraduannya. Tidak pernah lupa kembali besok.

Sementara Prana? Suaminya juga akan kembali ke tempatnya semula. Dan, itu bukan di sisinya. Hati perempuan itu teriris mengingatnya.

Alya kembali ke kamarnya di rumah ini. Ia melihat ponselnya yang tergeletak di meja belajarnya. Sinar hijau berkedip di ujung ponselnya. Ada pesan masuk. Ia melihat nama Prana muncul di layar datar itu. Sebelah jarinya menekan tombol untuk membuka pesan itu.

Ada yang ingin aku katakan saat di Jakarta, Al. Tunggu aku pulang.

***

Cuplikan episode berikutnya.


"Kamu mungkin enggak menyadarinya, Prana. Kamu terlalu terpuruk karena kehilangan Noëlle. Pikiranmu selalu memastikan untuk terus mencintai Noëlle karena kamu belum menerima kepergian Noëlle," kata Eloise. "Mencintai istrimu enggak membuatmu mengkhianati puteri mamam, Prana. Noëlle pasti ingin melihatmu bergerak maju dan bahagia."

"Karena istrimu pantas mendapatkan cintamu," kata Eloise lagi.


Jadi, gimana perasaan Prana? Sampai jumpa di episode berikutnya.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang