Selamat menikmati....
Prana hadir di sana ketika kepala Alya masih dipenuhi wajah laki-laki itu. Dengan menggunakan polo shirt hijau lumut dan celana jeans hitam yang dipadukan sepatu loafers bertali, Prana memberikan senyum untuk Alya. Senyum pertama di pertemuan mereka setelah hampir empat minggu tidak bertemu.
Normalnya, mereka akan berpelukan sebagai pelepas rindu. Ya, jika mereka adalah pasangan suami istri yang saling mencintai. Berbagi kerinduan? Itu terdengar menggelikan bagi Alya. Karena yang ia yakini, hanya ada satu cinta dalam pernikahan mereka. Cinta istri untuk suaminya. Tidak ada cinta balasan.
Dari jarak sekitar tiga meter, Alya melihat sosok laki-laki itu jauh lebih berantakan. Tidak ada dagu bersih dan kulit terawat. Prana membiarkan bulu-bulu tumbuh di sisi bawah kepalanya.
"Alya," panggil Prana. Bibirnya menyunggingkan senyuman ketika matanya menangkap pemandangan di depannya. Istrinya dalam jarak pandangannya. Perempuan yang telah menemaninya selama hampir dua tahun kini berada dalam jangkauannya. Alyanya telah kembali.
Harusnya tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui Alya di sini. Butuh banyak tenaga untuk meyakinkan Ratu jika dirinya memang sangat ingin bertemu istrinya. Bahwa Prana menginginkan melihat istrinya sendiri secara langsung.
"Senang melihat kamu lagi, Alya," katanya lagi melihat Alya tidak juga merespon ucapannya. Mungkin istrinya terlalu shock. Atau, istrinya tidak ingin melihatnya lagi. Tapi, semoga saja itu hanya ketakutannya saja.
Mengetahui Alya tetap setia di tempatnya, Prana mengambil langkah untuk mendekati perempuan cantik itu. Rasanya seperti mimpi bisa melihat wajah istrinya. Setiap kali-saat mendengar suara Alya yang bergetar sambil mengatakan ingin membakar foto Noëlle, pikiran Prana dipenuhi wajah istrinya. Ia sangat ingin menjelaskan semuanya. Berbicara berdua dengan istrinya. Bahwa, ada hal-hal yang telah dilepasnya.
Kini, waktu seperti berpihak padanya.
"Pak, Bu, saya izin ajak Alya keluar sebentar."
Prana menahan diri untuk tidak menggenggam tangan Alya. Ia tidak ingin membuat Alya kaget dengan sentuhannya. Cukup kesediaan Alya untuk berbicara berdua dengannya.
Akhirnya dua orang itu melangkah ke luar kamar inap Kakek Hamid. Meninggalkan banyak pasang mata yang menatap kepergiannya dengan penuh tanya. Mereka membiarkan itu hingga tubuhnya berhenti di kantin rumah sakit.
Dua orang manusia berbeda gender itu masih terdiam di kursi masing-masing. Keduanya duduk dengan saling berhadapan. Mata mereka saling memandang untuk membaca dari setiap tatapan itu. Prana dapat melihat pantulan kerinduan dirinya dari bola mata hitam istrinya. Sedangkan, Alya melihat kecemasan yang melanda dirinya.
Ada banyak hal yang berputar di kepala Alya. Tentang keadaan suami, pekerjaan, dan banyak hal lain yang selalu suaminya bagi padanya. Rasa-rasanya, kebiasaan itu semakin membuat duduk Alya resah. Ia takut tidak dapat mengontrol dirinya sendiri untuk bertanya hal-hal tersebut pada laki-laki di hadapannya.
"Alya," suara Prana berbisik lirik. Suara laki-laki itu bergetar ketika mengucapkan sebuah nama yang selama ini memenuhi pikirannya. Seolah ia membutuhkan banyak energi untuk menyebut nama itu-nama istrinya sendiri.
Ada jeda waktu yang cukup banyak setelah Prana menyebut nama Alya. Perempuan itu memiliki alasan untuk beranjak dari tempatnya saat ini. Tentang kakek, teman-teman, dan segala urusannya di rumah sakit ini. Ia menyakini itu. Alya tidak perlu repot menghabiskan waktunya dengan duduk berhadapan bersama calon mantan suaminya.
Tapi, Alya justru memilih bertahan. Ia membiarkan bokongnya duduk manis di sini. Ia biarkan mata laki-laki itu terus menatapnya. Alya sampai harus menunduk untuk menghindari tatapan itu. Ia takut dengan datangnya rasa rindu bila melihat wajah tampan suaminya.
"Hampir 4 minggu kita enggak ketemu," tambah Prana lagi saat tahu Alya yang mungkin saja enggan menjawab sapaannya.
Mulut Alya masih terdiam. Bibir merah muda itu seakan enggan untuk terbuka-menyuarakan sepatah kata pun pada laki-laki di hadapannya. Ia seakan tidak peduli dengan keinginan Prana untuk mendengar suara Alya lagi-sepertu dulu.
"Jadi gimana perjalanan bisnis ke London?" tanya Alya basa-basi.
Prana tersentak. Ia baru ingat tentang kebohongan yang dilakukannya pada Alya. Sebuah dusta demi menuntaskan dahaga masa lalu. Perasaan bersalah seketika semakin bertambah besar hinggap di hatinya.
Alya seketika tidak percaya dengan respon Prana. Laki-laki itu menatap Alya dengan pandangan lurus dan penuh luka. Luka? Suaminya terluka. Mungkin karena ketahuan selingkuh. Akhirnya, permainan laki-laki itu selama dua tahun diketahui istrinya sendiri.
"Atau liburan ke Belanda?" kata Alya lagi. "Kakak cuti untuk liburan ke sana, kan? Oh, atau mungkin pesawatnya nyasar ke Perancis-ke Mittelbergheim."
Melihat suaminya menggeleng justru membuat rasa kesal Alya bertambah. Itu diartikan Alya sebagai bentuk penyangkalan suaminya. Bahwa, tanpa Prana sadari jika Alya sudah mengetahui semuanya.
Tubuh Prana sedikit membungkuk. Ia mencoba meraih tangan Alya yang berada di atas meja. Tapi, belum sempat tangan mungil itu ia genggam, Alya sudah menarik tangannya. Perempuan itu enggan bersentuhan dengan suaminya sendiri.
"Aku minta maaf, Al," kata Prana. "Maaf karena sudah membohongi dan menyakitimu. Maaf untuk semuanya, Al."
"Maaf buat apa, Kak?"
"Karena aku ke Mittelbergheim untuk mengunjungi keluarga Noëlle," katanya.
Alya melihat wajah penuh penyesalan dalam tatapan suaminya. Juga yang yang terdengar pelan namun penuh keyakinan. Tapi, ia tidak mau salah lagi mengartikan sikap Prana. Mungkin tatapan penyesalan itu hanya bayangan dari imajinasi Alya.
Karena Alya sudah terlalu lelah untuk bangkit jika harus kembali terjerumus di lubang yang sama. Perasaan terluka yang teramat dalam yang diberikan suaminya membuatnya dihinggapi kesedihan terus menerus. Alya tidak akan sanggup bila harus berjibaku dengan luka yang sama.
"Pulang, Al. Pulang bersamaku lagi. Kita akan memperbaiki ini."
"Selama hampir dua tahun menjadi istri Kakak, Alya cuma berharap bisa dicintai suami sendiri. Setiap kali mengingat Noëlle, Alya cuma bisa berdoa kalau nanti, perasaan cinta Kakak bisa pindah ke Alya. Tapi sekarang, Alya cuma mau bahagia bersama kakek. Dan, itu berarti enggak sama Kak Prana."
Dan, Prana tahu jika dirinya sudah kalah. Bahkan sebelum ia sempat berjuang memperbaiki rumah tangganya. Alya memilih mundur dari kehidupannya.
***
Cuplikan episode berikutnya.
"Setelah Prana bayarin kakek umroh, kakek udah enggak mau apa-apa lagi selain melihat Alya bahagia," ucap Kakek Hamid. Mata tua memandang Prana yang duduk di samping ranjangnya.
Hati Prana tercubit mendengarnya. Inilah bentuk kecintaan dari seorang kakek-yang merangkap ayah-untuk Alya. Laki-laki yang telah menyerahkan cucu semata wayangnya pada Prana. Kakek Hamid yang menaruh kepercayaan begitu tinggi padanya untuk membahagiakan Alya. Kini, ia telah mengkhianatinya.
"Tolong, terus cintai Alya, Prana. Bahagiakan Alya sampai dia lupa bagaimana rasanya sakit karena lahir dari orangtua yang tidak mencintainya."
Tim Prana nambah satu-Kakek Hamid. Jadinya, Alya masih mau mundur dari hidup Prana? Sampai jumpa di episode berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Setelah Kemarin (Selesai)
RomancePrana meninggalkan Kota Paris dengan sesuatu yang tertinggal. Di tempat itu, ia merajut asa dan membangun mimpinya. Ketika mimpi itu musnah-hanya selangkah sebelum ia menggapainya, separuh jiwanya ia titipkan di sana. Mampukah Prana mengembalikanny...