Episode XXVII

3.5K 406 33
                                    

Di-publish untuk menemani libur kalian. Jangan lupa berikan komentar dan votes, ya.

Selamat menikmati. Hatur nuhun.





Alya kira, dirinya akan berhenti di kantin kampus. Nyatanya, Mario membawanya dan Marisa ke Meat and Meal. Restoran yang letaknya di seberang kampus mereka.

Pertemuan tidak sengaja itu membawanya bersama laki-laki itu.

Laki-laki itu mempersilakan Alya dan Marisa memilih makanan yang ada di buku menu. Saat sebelum menikah, Alya akan kebingungan dengan nama makanan ini. Juga mengernyit melihat harganya yang sangat tidak bersahabat dengan uang saku perempuan itu. Kini, dengan Prana yang sering mengajaknya menikmati ke restoran-restoran baru dan menu makanan yang begitu lezat, Alya paham.

"Tenderloin steak dan strawberry juice," kata Alya. Ia dapat melihat kilat mata Marisa yang memandangnya.

Restoran itu cukup sesak dengan banyaknya pengunjung. Kebanyakan mahasiswa di kampusnya. Tapi, Alya tahu, mahasiswa yang makan di sini bukan jenis mahasiswa yang sama dengannya.

"Kak, beneran dibayarin, kan?" Marisa sedikit berbisik. Ia memiliki cukup uang. Hanya saja, menghabiskan dua ratus ribu sekali makan, terlalu mahal untuk kantung mahasiswa.

Mario tersenyum sebelum akhirnya mengangguk. "Iya. Aku baru gajian."

Senyum lebar muncul di bibir Marisa. Perempuan itu menyebutkan menu makan siangnya. Makanan yang biasa ia pesan setiap kali ke restoran ini bersama kedua orangtuanya.

Tidak. Tidak seharusnya ia ke tempat ini bersama Alya dan teman perempuannya. Sebagaimana normalnya, seharusnya ia tidak peduli dengan perempuan cantik di hadapannya. Tapi, sejak melihat senyumnya yang mengembang bersama Ratu, Mario tahu ada yang tidak normal dalam dirinya.

Ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.

Bayang-bayang Alya menggunakan kebaya putih di atas pelampinan seolah menjadi kilas balik di pikirannya. Senyum yang terpancar dari perempuan itu terlihat lepas dan bahagia. Alya bahagia menjadi istri Prana.

Ada hal-hal yang ia bayangkan adalah sebuah mimpi. Celotehan, senyum, gelak tawa Alya yang hingga dalam malam-malamnya. Berdiri di tengah-tengah dengan sosok perempuan itu melingkarinya dengan penuh tawa kebahagiaan.

Seolah itu menjadi cukup untuk membuatnya tidak melangkah. Ia tetap pada tempatnya berdiri. Mengamati dan mendengar kisah penuh bahagia dari Ratu-sepupu Prana yang menjadi teman satu kantornya.

Namun, kejadian kemarin seolah menyadarkan Mario. Ada yang tidak beres dari pernikahan perempuan itu. Alya yang pintar menyimpan atau berpura-pura tidak peduli. Keyakinannya tertuju pada satu nama: Mahaprana.

Perempuan cantik dan baik seperti Alya pantas mendapatkan jutaan cinta dari suaminya. Seperti yang telah Alya berikan. Setiap kali membicarakan Prana, binar cinta itu memantul dari tatapan mata Alya. Mario menyadari itu.

"Kakak lagi ada urusan di sini?" tanya Marisa. Perempuan itu menghentikan lamunan Mario.

"Iya," jawab Mario. "Mendata pertukaran mahasiswa dan guru ke Australia." Sengaja meminta atasannya agar ia yang mendata di kampus ini. Tentu saja itu hanya ada dalam pikirannya. Siapapun tidak boleh tahu, termasuk Rani.

"Kak, beasiswa S2 ke Australia ada enggak?" tanya Marisa cepat.

"Banyak, kok. Kenapa? Mau lanjut ke sana?"

Marisa menganggu dengan antusias. Ia melanjutkan dengan kalimat yang menjadi mimpinya sejak dulu. "Aku mau lanjut S2 ke sana tapi nunggu beasiswa. Bokap enggak ada duit buat biayai," katanya dengan cengiran khasnya.

Kedua terlibat pembicaraan panjang. Sambil mengunyah makanannya, Marisa terus mendesak Mario untuk memberi tahu info beasiswa dari negeri kangguru itu. Perempuan itu dan mimpinya mengenyam pendidikan di Australia National University.

Alya hanya bisa tersenyum mendengar percakapan keduanya. Ia bukan pemimpi seperti sahabatnya. Alya hanya ingin lulus kuliah, bekerja, dan membahagiakan masa tua kakek dan neneknya. Sesederhana itu mimpinya. Karena hanya keduanya yang Alya miliki sebagai keluarga.

"Nanti pulangnya aku antar ya, Al. Kita searah," ucapan Mario terdengar di telinganya.

"Iya, Kak."

***

Alya menatap sebuah kertas kecil yang diberikan Mario tadi. Hanya secarik kertas berisi sebuah nama tempat di negeri nan jauh di sana. Tempat yang selalu menjadi pemicu kecemburuan Alya pada suaminya.

Mario mengantarnya pulang dengan mobilnya. Duduk di jok depan samping kemudi membuatnya terasa biasa saja. Lantunan musik yang diputar sebuah radio memecah keheningan mereka. Hingga, sebuah pertanyaan dari Mario membuyarkan semuanya.

"Kamu bahagia dengan pernikahan ini, Alya?"

Pertanyaan itu juga yang terus menghinggapi pikirannya. Tentang rasa bahagia yang ia rasakan selama menjalin pernikahan dengan suaminya. Alya bahagia dengan perasaan cintanya pada Prana. Namun, apakah itu sebanding dengan luka saat tahu jika rasa cintanya tak terbalas?

Dulu, bisa saling membahagiakan saja sudah cukup. Perhatian dan kepedulian Prana pada Alya dan Kakek Hamid sudah membuatnya cukup. Hanya itu saja. Tapi, mungkin namanya manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, Alya menginginkan lebih. Bahwa, rasa cintanya pada suaminya dapat berbalik padanya. Prana juga merasakan hal yang sama padanya.

Tapi, menjawab pertanyaan Mario terasa aneh. Alya hanya bisa menoleh sambil mencoba menyunggingkan sebuah senyum. Hanya itu yang mampu Alya lakukan sebagai jawabannya.

Itu bukan jawaban. Pikir Mario dalam hati. Senyuman yang diberikan perempuan itu justru menyiratkan kebenaran hipotesisnya. Alya tidak bahagia dalam pernikahannya. Ia tentu saja tidak puas. Ia menoleh sebentar sebelum matanya menatap jalan di hadapannya. "Karena kamu beda dengan Noëlle. Sangat jauh berbeda, Alya."

Alya tersentak. Mario mengenai Prana, Alya tahu itu. Tapi Noëlle? Tapi, belum sempat pertanyaan itu muncul di kepalanya, laki-laki itu kembali berkata.

"Everybody knew her. Prana mengenalkan calon istrinya itu ke semua orang yang dikenalnya." Laki-laki itu menghembuskan napasnya berat. Matanya mengingat binar bahagia dan rasa bangga setiap kali Prana membawa Noëlle ke Indonesia. Mereka-Mario dan pasangan itu pernah naik gunung bersama. Menikmati pergantian tahun baru di Puncak. Berteriak dengan menyanyi dan berjoget bersama di klub. Ia mengenal Noëlle dan menyadari jika perempuan seperti itulah yang menjadi tipe Prana. Sangat jauh berbeda dengan perempuan cantik yang duduk di jok mobilnya.

"Kamu terlalu baik untuk Prana, Alya. Laki-laki yang masih menyimpan cinta sama mantan pacarnya." Mario memberikan secarik kertas pada Alya.

Perempuan itu mengambil kertas itu. Ia membacanya. Strasbourg Airport. Ia tertegun. Mario tahu?

"Itu bandara terdekat menuju Mittelbergheim-kota asal Noëlle."

***

Cuplikan episode berikutnya:

Laki-laki itu menyimpan kotak kecil itu ke saku celananya. Ia membawa semua keyakinan yang dimilikinya malam ini. Di restoran yang telah dipesannya minggu lalu, ia akan mengutarakan niatnya pada gadis yang dicintainya.

"Jadilah istriku, Noëlle."

Lho, kok? Kapan mau di-publish episode ini?

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang