Sebelas : Tak Terduga (3)

518 68 1
                                    

"Kau akan pulang?" tanyaku menghentikan aktivitas Sakuragi untuk berkemas.

"Hai, bagaimanapun Otou-san tetap orang tuaku, yah walaupun kehadiranku tak dianggap di sana" jawabnya sedikit sedih dengan tatapan kosong.

"Aku menghargai keputusanmu, tapi jika ada apa-apa jangan sungkan kemari"

Sakuragi mengangguk, "ngomong-ngomong siapa Uchiha Sasuke? Apa dia mengganggumu akhir-akhir ini? Biar kuhajar!"

Aku tertawa sekaligus terkejut, "tidak, dia orang baik. Memang kau tau namanya darimana?"

"Semalam saat di club kau berteriak memanggil namanya, sepertinya saat itu kau mabuk berat, Onee-chan. Makanya aku mencoba menyadarkanmu"

Jadi saat itu–

"Ditambah lagi, semalam kau mengigau namanya saat tidur" tambah Sakuragi.

"Eh, benarkah? Ahaha, mungkin aku terlalu kesal dengannya ya" kataku asal. Semoga jawabanku memuaskan, karena jika benar-benar kesal mungkin Sasuke akan babak belur dihajarnya. Dia benar-benar adik yang manis tapi juga agak beringas.

"Jika si Uchiha itu macam-macam katakan padaku ya!" tegasnya seperti biasa.

Untung saja Sakuragi tidak begitu tau Sasuke yang kumaksud adalah idola para gadis saat ini. Aku menelan ludah memikirkan sesuatu. Jika benar Sakuragi melakukan apa-apa, ah entahlah apa yang akan terjadi pada orang terkenal itu. Begitupun yang terjadi dengan Sakuragi.

"Sakuragi" panggil Mama saat aku dan Sakuragi sampai di lantai bawah, "gomennasai. Jika kau butuh sosok ibu, Obaa-san bersedia untuk–"

"Iie. Aku tak apa. Laki-laki harus kuat kan?" cuapnya sambil meringis seakan meyakinkan kami bahwa dia tak mudah dipatahkan, "Arigatou, Onee-chan, Obaa-san. Ja nee" Sakuragi berpamitan dengan membungkukkan tubuhnya. Iapun menaiki taksi yang telah dipesannya.

Aku melepas kepergian Sakuragi dengan perasaan bahagia bercampur haru. Saat kecil, kami masih belum tahu apa-apa. Tak tahu kepedihan yang terjadi antara dua pernikahan, tak mengerti mengapa setiap bertemu ibu kami saling mengolok satu sama lain, tak memahami keadaan ketika Papa mengatakan punya saudara lain berarti menyakiti perasaan ibu kami masing-masing. Sampai akhirnya, tepat saat kelulusanku di jenjang pendidikan dasar, Papa memilih berpisah dengan Mama dengan alasan Sakuragi yang masih kecil butuh perhatian lebih. 

Aku sempat merasa bodohnya aku menyambut permintaan itu dengan bahagia untuk berbagi sosok ayah. Mama pun selalu memperingatkan untuk tidak pernah bermain dengan Sakuragi lagi, tapi aku tak bisa. Sakuragi adalah adikku, yang berarti juga saudaraku. Hubunganku dan Sakuragi selalu baik, sampai tiba waktu kuliah kondisiku benar-benar serampangan. Mama menduga kekacauan yang terjadi padaku akibat perbuatan Sakuragi, sehingga Mama menuntut Papa dan keluarga barunya untuk pindah dari kota kami.

***

Hari masih pagi, di sisa minggu pagiku aku dan Mama menghabiskan waktu bersama kembali. Lari pagi rutin mengelilingi kompleks tiap minggu adalah kebiasaan rutin kami. Sebentar-sebentar Mama menanyaiku tentang Sakuragi dan Sasuke silih berganti. Saat menceritakan Sakuragi aku merasa begitu semangat, tetapi ketika beralih pada Sasuke entah mengapa kujawab dengan sedikit kesal dengan mata berkaca-kaca. Jika kuingat lagi selama aku hidup, aku tidak pernah dibentak seorang laki-laki seperti itu. Mama hanya memelukku dan mengelus lembut punggungku, mencoba menenangkanku sebelum tangisku akan menjadi.

Sesampainya di rumah, aku melihat ada mobil yang terparkir di depan rumah. Dari dalam mobil seseorang yang kukenal menyapaku, "assalamu'alaikum Sakura-san"

"Wa'alaikum salam, Tazuna-san. Ada apa kemari?"

"Oh. Saya hanya mengantar Sasuke-san. Sepertinya Sasuke-san sudah menunggu di depan pintu. Pagarnya terbuka, jadi saya sarankan Sasuke-san langsung masuk. Sumimasen terlalu lancang"

Ustadz di TV ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang