Dua Puluh Dua : Hari Bahagia

383 47 3
                                    

POPP!

Se no!”

PFRTT!!

Otanjoubi omedetou!”

Aku terkejut bukan main! Terbangun akibat suara riuh terompet dan sorakan orang rumah. Saat mengumpulkan kesadaranku, aku mendapati papa dan Sakuragi ada di kamar.

“Bagaimana bisa kau terlambat bangun di hari bahagiamu, Onee-chan?!” seloroh Sakuragi mengerucutkan bibirnya.

“Sakuragi benar. Bahkan dia tidur lebih larut tapi bisa bangun lebih pagi darimu” timpal mama. Mama bercerita kalau papa dan Sakuragi tiba di rumah tengah malam. Papa beralasan ingin cepat-cepat datang setelah menyelesaikan semua urusan kafe.

Yosh, bangunlah. Kita rayakan hari bahagiamu” sambut papa yang terduduk di tepi kanan tempat tidurku, “mari mulai dengan sholat shubuh berjamaah”

Wajahku memanas. Ucapan yang hampir terlupa selama belasan tahun. Sebuah ajakan untuk beribadah bersama dipimpin sang kepala keluarga.

“Baiklah baiklah. Tapi aku akan membereskan kejutan ini” tanggapku salah tingkah sembari memungut pita-pita kecil yang berhamburan.

“Lupakan itu, serahkan padaku nanti!” sahut Sakuragi mendorongku menuju kamar mandi.

Kulihat jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh. Rupanya semalam aku tertidur lagi setelah melaksanakan istikharah. Yaah, setelah bercerita panjang lebar dengan Naruto, aku sempat mencari-cari tau sesuatu di internet.

Tentang cara mengambil keputusan tanpa ada penyesalan.

Aku membaca-baca artikel yang membahas tentang apa itu ta'aruf, khitbah, dan lain-lain. Aku meringis. Pikirku, aku terlalu jauh mengkhawatirkan ini. Tapi tak mengapa, aku ingin kisah yang terjadi pada mama tak terulang, terutama pada diriku sendiri.

Saat seorang lelaki menyatakan akan memintamu, kau tak boleh asal menerimanya meski kau punya rasa yang sama. Kau harus meminta waktu agar bisa menjawabnya dengan bantuan Tuhanmu, Allah. Istikharah adalah sebuah jalan untuk menentukan jawaban sekaligus memberi visi apakah kelak dia akan jadi orang yang tepat untukmu.

Kurang lebih hal tersebut yang paling kuingat. Aku merangkum semua bacaan di internet dalam otakku. Lumayan juga, setidaknya aku memiliki ancang-ancang untuk menghadapinya nanti.

Aku meregangkan tubuh. Agaknya sedikit pegal, seolah aku melewati malam yang panjang. Ah, mungkin karena memimpikan Sasuke semalam. Dia berpakaian serba putih dan tersenyum padaku. Apakah sebuah pertanda baik? Setauku warna putih selalu membawa hal positif.

Gomen, bukan aku tidak suka, tapi..”

Aargh! Yosh mari coba yang lain.

Gomenne, aku tak bisa menjawabnya sekarang”

Tidak. Lebih manis lagi, tapi tak boleh banyak basa-basi!

Gomen Sasuke-kun, aku ingin meminta waktu”

Aku terus berlatih di depan kaca sembari berulang-ulang mengganti ekspresi, bagaimana raut yang tepat untuk mengatakan itu. Aku berencana meminta tenggat waktu untuk menentukan jawaban pasti. Susah juga merangkai kata yang tepat!

Seusainya membersihkan badan, aku melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Rasanya bahagia sekali.

Kami terlihat seperti keluarga yang utuh. Meski aku paham kenyataannya tak begitu. Mama terlihat bahagia menatap papa, tapi kuyakin hatinya masih menyimpan luka.

Pagi ini, kurasa pagi terbaik dalam hidupku. Semoga kebahagiaanku terus berlangsung seharian ini. Setidaknya, aku ingin menikmati keluarga ini lebih lama lagi. Tak muluk-muluk, cukup satu hari penuh saja. Sebab aku tau, keluarga ini tak akan berlangsung selamanya.

Ustadz di TV ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang