Bab 2 - amnesia

529 41 5
                                    

Di rumah sakit ...

"Jodha mana, bu ...?" Semua orang terdiam, ketika Jallal terbangun dan menyebut nama Jodha. "Jodha, mana, bu? Dia baik-baik saja kan? Dia nggak luka kayak aku kan, bu?" tanya Jallal cemas dengan raut wajahnya yang menuntut sebuah jawaban.

"Pak Jallal, lebih baik anda istirahat saja dulu. Karena anda ini baru saja siuman, jangan berfikir yang macam-macam," sela dokter yang merawat Jallal saat itu.

"Bagaimana saya nggak mikir macam-macam, dok! Kalau saya nggak lihat istri saya di sini! Saya takut dia kenapa-kenapa, karena dia kan baru saja keguguran!" bentak Jallal lantang, semua orang tersentak.

"Hah ...? Jallal ..."

"Rukayah, biarkan ...," sela Bu Hamida ketika Rukayah hendak mengatakan sesuatu tentang Jodha, sepertinya Bu Hamida tahu maksud Rukayah. "Jallal, Jodha saat ini sedang berada di rumah, dia sedang istirahat dan dia baik-baik saja."

"Aaaah ... syukurlah ..." Ada perasaan lega dari gestur tubuh Jallal, ketika mendengar kabar tentang Jodha. "Aku kira Jodha kecelakaan juga. Kasihan dia, bu ... dia baru saja kehilangan anaknya." Bu Hamida hanya mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Tapi kan ..." Lagi-lagi Rukayah berusaha menyela dan ingin mengatakan sesuatu. Namun, Bu Hamida yang saat itu berdiri di depannya memberikan kode dengan menganggukkan kepalanya, agar Rukayah tidak melanjutkan perkataannya.

"Dokter, apa pemeriksaannya sudah selesai?"

"Untuk sementara, sudah, Bu. Tapi besok, kami akan memeriksa pak Jallal lagi."

"Baiklah, bisa kita ngobrol sebentar?"

"Tentu! Tentu bisa, Bu! Mari ke ruangan saya," sahut dokter Havid, yang bertugas malam itu. "Suster, tolong dicatat semuanya yaa, saya balik ke ruangan saya dulu." Perawat itu hanya mengangguk sambil mencatat laporan pada selembar kertas yang dibawanya.

"Terimakasih, dok!" sahut Bu Hamida

"Pak Jallal, saya balik ke ruangan saya dulu. Besok kami akan melakukan pemeriksaan yang lebih detail lagi, tapi ini sebuah kemajuan yang luar biasa. Karena anda bisa segera siuman dari koma anda."

"Terimakasih, dok!" Suara Jallal masih terdengar parau dan lemah.

"Kalau begitu ibu pergi sebentar ya, nak ... kamu istirahat saja dulu." Jallal hanya mengangguk lemah. "Maham Anga, Rukayah ... kalian berdua ikut dengan saya, biar Jallal istirahat dulu," ujar Bu Hamida sambil menatap ke arah Bibi Maham Anga dan Rukayah yang menatapnya heran.

Tak lama kemudian mereka berempat, termasuk dokter Havid keluar dari kamar Jallal, menuju ke ruang kerja dokter Havid. Sepanjang lorong rumah sakit, Rukayah yang berjalan di belakang Bu Hamida dan dokter Havid, bergegas menggamit lengan Bibi Maham Anga dan berbisik lirih, seolah-olah takut kedengaran oleh Bu Hamida.

"Bibi ... Bibi dengar sendiri kan tadi? Masa Jallal nanya kayak gitu? Kejadian itu kan udah lama banget!"

"Iyaa, Rukayah ... aku juga heran, ada yang nggak beres sama Jallal. Jodha keguguran itu kan waktu mereka baru setahun menikah, tiga bulan setelah Kak Humayun meninggal!" sahut Bibi Maham Anga lirih sambil terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit.

"Nah ... itu dia! Dari tadi aku mau ngomong kayak gitu, tapi Tante Hamida sepertinya melarangku untuk ngomong kayak gitu di depan Jallal, itu kan nggak fair kan, Bi ... aku nggak trima kalau gini!"

"Sudah ... mending kamu diem dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan kakak iparku itu. Apa dia juga punya pemikiran yang sama seperti kita? Kita ikuti dia dulu, oke?" Rukayah hanya bisa mendengkus kesal dan menahan rasa frustasinya yang sebenernya ingin diluapkan sedari tadi.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang