Bab 1 - si ulat bulu

618 44 6
                                    

Keesokan harinya ...

"Kenapa kamu baru ngomong sekarang sih kalau Jallal kecelakaan? Ini serius tahu! Seharusnya semalam itu kamu langsung telfon aku! Bukannya pagi-pagi begini baru ngabarin! Tante Hamida pasti juga baru kamu kabarin kan pagi ini? Kamu ini gimana sih? Apalagi kondisi Jallal sangat serius seperti ini!" Rukayah mulai nyerocos dengan nada marah dan tidak suka ke Jodha, ketika pagi itu Rukayah tiba di rumah sakit, setelah Jodha memberitahunya.

Jodha hanya bisa geleng-geleng kepala, Suryaban pun begitu. Belum pernah Suryaban melihat seorang perempuan yang cerewetnya minta ampun seperti ini. Mantan istrinya sendiri, meskipun mereka berdua sering bertengkar hingga bercerai. Namun, tidak pernah cerewet seperti Rukayah.

"Karena aku rasa semalam itu bukan saat yang tepat untuk ngabari kamu, aku harap kamu bisa ngerti. Semalam aku sendiri juga syok, waktu pihak rumah sakit ngabari aku soal Jallal." Jodha berusaha memberi pengertian ke Rukayah dengan suaranya yang lirih karena Jodha desudah lelah. Jodha tidak punya energi untuk bertengkar dan meladeni ocehan Rukayah membabi buta.

Sejak semalam Jodha belum tidur, berjaga-jaga kalau seandainya Jallal bangun. Namun, Rukayah tetap tidak terima, dengan muka culasnya, Rukayah menatap Jodha dengan penuh kebencian.

"Tapi seenggaknya kamu kan bisa ngabari aku! Aku ini pacarnya! Aku yang paling berhak tahu soal Jallal! Bukan kamu! Dan lagi ngapain juga pihak rumah sakit ngabarin kamu?" tanya Rukayah ketus.

"Karena dia ini istrinya!" teriak Suryaban tiba-tiba. Suryaban yang sedari tadi hanya diam mendengarkan semua ocehan Rukayah, mulai buka suara karena merasa jengah dengan ocehan Rukayah yang tidak ada habisnya menghujat Jodha, sementara Jodha mencoba menenangkan Suryaban agar tidak terpancing emosi meladeni cemoohan Rukayah, karena Jodha sendiri sudah kebal.

"Oh yaa ...? Apa kamu bilang? Istrinya ...? Sejak kapan Jodha masih istrinya Jallal? Hah ...?"

"Sejak dulu sampai sekarang, Jodha masih istrinya, Jallal!" suara Bu Hamida tiba-tiba terdengar di belakang mereka, ketiganya pun menoleh ke arah Bu Hamida yang memperhatikan mereka bertiga satu per satu, sementara Bibi Maham Anga berdiri di belakang Bu Hamida, kakak iparnya.

"Tante ... Tante sudah datang?" sapa Rukayah dengan sikapnya yang dibuat-buat sambil menghampiri Bu Hamida dan mengulurkan tangannya untuk memberi salam. Namun, Bu Hamida malah mengabaikan Rukayah, lalu beralih berjalan mendekati Jodha yang terlihat lesu.

"Jallal dimana, Jodha? Bagaimana keadaannya?"

"Jallal ada di ruang ICU, bu ... di dalam. Kondisinya masih koma, kata dokter kalau selama 24 jam ini Jallal bisa melewati masa krisisnya, maka kondisinya akan membaik."

"Lalu kenapa kamu baru ngabari kami pagi ini, Jodha? Sedangkan kecelakaannya terjadi tadi malam!" belum juga Jodha sempat menjawab pertanyaan bibi Maham Anga yang terdengar pedas, Rukayah kembali menyela.

"Nah kan! Aku bilang apa ...? Aku tadi juga bilang gitu, Tante! Kenapa si Jodha baru ngomong pagi ini kalau Jallal kecelakaan? Harusnya kan dia ngomongnya dari semalam, iya kan Tante ...? Bener kan Bibi ...?"

"Jodha pasti punya alasan tersendiri, bukan gitu, Jo ...?" Jodha mengangguk kecil, ketika Bu Hamida mencoba menengahi serangan Rukayah dan Bibi Maham Anga.

"Semalam itu sudah terlalu malam, kasihan kalau membangunkan ibu atau bibi malam-malam dan membuat ibu dan bibi khawatir, karena harus memikirkan keadaan Jallal. Jadi saya memutuskan untuk tidak mengabari kalian. Itu alasan saya, bu."

"Tapi kamu kan bisa ngabari aku! Aku nggak masalah kalau ditelfon malam-malam! Apalagi kalau hal itu menyangkut Jallal, aku selalu siap sedia!" lagi-lagi Rukayah merepet seperti mercon bantingan.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang