23. Amarah

711 58 7
                                    

Double update untuk kalian.

Bilang apa?

°°°°

Seorang gadis turun dari mobil berwarna putih, lalu masuk ke sebuah toko. Ia melihat beberapa kue yang terjajar rapi di etalase. Berbagai jenis kue terlihat lezat di sana.

Harum. Itulah devinisi toko kue yang ia kunjungi. Kue yang berjajar juga terlihat baru. Rin memilih sebuah brownies lalu meminta pelayan toko untuk mengambilkannya.

Sudah lama ia tidak menikmati jenis kue satu ini. Ana dan dirinya sangat menggemari kue brownies. Kali ini ia akan membelikan untuk sang mama.

"Lho, Rin?" Seseorang menyapa Rin ketika gadis itu tengah menunggu kue pesanannya dikemas. Rin menoleh dengan wajah yang dibuat terkejut.

"Mama Lidia?" Lidia menggiring teman anaknya itu untuk duduk di salah satu kursi yang disediakan di sana. Terjadilah perbincangan di antara keduanya.

"Arsen kasih tahu kamu kalau mamah punya toko ini?"

"Oh iya, mah? Pantas kuenya kelihatan enak. Kak Arsen nggak kasih tahu kalau ini toko kue mamah Lidia tuh," ucapnya jujur. Padahal sebenarnya ia berusaha mencari tahu tempat ini. Mungkin satu hal yang ia tahu, akan mempermudah misi selanjutnya.

Lidia menyuruh pegawainya untuk menyajikan sepiring roti lapis untuk Rin. Membuat gadis itu menjadi sungkan, namun juga memakannya lantaran Lidia yang terus memaksanya.

Enak, satu kata yang mewakili semua kue bikinan wanita paruh baya itu. Lidia memang pandai memasak. Sungguh, Rin mengagumi sosoknya.

Toko ini tidak terlalu ramai, mungkin karena Lidia yang kurang gencar mempromosikan produknya. Padahal jika kue buatan Lidia dikenal masyarakat luas, tentu akan menjadi langganan.

"Kenapa mamah nggak coba jual online juga? Pasti lebih gampang jualnya mah," saran Rin, dan terlihat Lidia menimang-nimangnya.

"Mama belum sempat kepikiran ke situ. Tapi ... mama nggak yakin,"

"Loh kenapa nggak yakin, mah? Kue mamah enak semua loh, pasti banyak yang suka!" Lidia tersenyum mendengar pujian dari gadis itu. Rin memang gadis yang baik.

"Em, gimana kalau mulai besok Rin bawa beberapa kue kecil buat dijual di sekolah. Pasti laku mah. Gimana?"

"Em, tapi ...," Hidup Lidia memang pas-pasan. Ia bergantung pada toko kue yang sesekali mendapat pesanan banyak untuk sebuah hajatan. Sejak ayah Arsen pergi, ia yang harus pontang-panting untuk menyambung hidupnya dan putra semata wayangnya.

Rin cukup paham, ia memang mencari tahu semua tentang Arsen. Misi itu, adalah sebuah amanah. Meskipun Ana tidak terlalu menyetujuinya, ia akan terus berusaha. Di sisi lain, Rin memilili rasa bersalah yang begitu besar pada Arsen. Semoga saja, kelak Arsen akan menerimanya meski tahu sebuah kenyataan itu.

"Mamah tenang aja, besok siapin kue untuk Rin jual ya! Pagi-pagi Rin ambil ke sana, oke?" Rin memegang kedua tangan Lidia, berusaha meyakinkan wanita itu.

"Tapi nak, nanti bisa ganggu-"

"Enggak mamah, tenang. Rin cepat mengejar pelajaran yang tertinggal kok. Ya?" potong Rin kembali meyakinkannya. Sebenarnya, Lidia memang membutuhkan bantuan. Mengingat tokonya yang tidak terlalu ramai. Mengingat betapa kerasnya kota ini.

Rumah peninggalan sang suami sudah ia jual untuk sekolah putranya. Dan akhirnya memilih untuk membeli rumah yang lebih sederhana.

"Nanti Rin juga bakal bantu promosi di sosmed, biar semakin banyak pembelinya. Oke?" ucap gadis itu, lalu menunjukkan senyum termanisnya. Rin memang selalu pandai membuat orang lain bahagia.

"Kamu, baik Rin." Hanya kalimat itu yang mampu mewakili rasa terimakasih untuk gadis mulia di depannya. Lidia memeluk Rin erat.

"Mamah itu sudah seperti mamah Rin sendiri. Rin sayang mamah Lidia," Entah sisi apa yang membuat Lidia menangis. Ia tidak menyangka masih ada orang yang mau berbuat baik untuknya. Selama ini wanita itu sedikit menutup diri sejak mendapat sebuah penghianatan di masa kelamnya.

°°°°


Sebuah motor menyelip melalui sela-sela kendaraan, berusaha menjauh dari hiruk pikuknya kemacetan kota. Ia melaju sengat cepat dan gesit, namun masih memperhatikan rambu-rambu dan lampu lalu lintas yang ada.

Akhirnya, ia mendapati udara segar di sore hari ini. Arsen sampai pada jalan raya yang lebih sepi, karena itu memanglah bukan jalan utama. Mentari sore, dan sayup angin yang sejuk membuat cowok itu melambatkan lajunya. Menikmati keindahan yang jarang ditemukan di kota metropolitan.

Tiba-tiba, sebuah motor melaju dari belakangnya, menyenggol badan motor Arsen. Seperti dengan sengaja. Motor Arsen sedikit goyah beberapa saat, namun si ketua geng berusaha menyeimbangkannya.

Tidak terima atas kesengajaan yang terjadi, Arsen melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Mengejar orang yang hampir mencelakainya.

Kemampuannya memang tidak bisa di ragukan. Tidak jauh, di depannya terdapat sebuah motor yang sempat menyenggolnya.

Arsen semakin gencar, terus menambah kecepatannya, hingga bisa menggiring motor itu. Ia berhasil menghentikan motor yang hampir membuatnya jatuh.

Tidak asing, Arsen turun dari kendaraannya, lalu cepat menghantam orang di balik helm itu. Sayang, orang itu berhasil menangkisnya. Dan terdengar tawa remeh dari mulutnya. Cowok itu tidak berusaha melakukan perlawanan, malah ia membuka helmnya hingga menunjukkan sepenuh wajahnya.

"Masih sama dengan masalah kemarin, jauhin cewek gue!" Ah, apa ini? Lagi-lagi Arsen dipaksa berdebat dan berkelahi menyangkut soal cewek. Itu bukanlah tipe Arsen.

"Cowok gentel nggak perlu baku hantam buat rebutin seorang cewek!" sindir Arsen pada cowok di depannya, sang musuh. Kalimat yang bijak suatu saat mudah membuat seseorang termakan dengan ucapannya.

"Jangan munafik!"

"Cewek lo yang deketin gue," Kenyataannya memang seperti itu, Devan saja yang tidak tahu menahu mengenai masalah sahabat gadisnya.

"Nggak mungkin! Dia nggak semurah itu!" bentaknya menyangkal.

"Duh, apa ini? Barusan lo hina sahabat lo murahan?" Arsen bertepuk tangan, heran dengan cowok bermuka dua di depannya.

"Sampah!" Arsen meninju perut musuhnya dengan kencang. Amarahnya seketika terpancing begitu saja. Jika Rin sampai tahu, mungkin akan menambah masalah untuknya. Eh, apa peduli Arsen?

Devan yang tidak terima, memberi pukulan balik pada musuhnya. Darah segar mengalir di sudut bibir Arsen, setelah mendapat pukulan itu. Semakin lama, Arsen semakin sulit mengontrol emosinya. Dengan ketangkasannya, ia melawan kembali cowok yang berbuat masalah itu.

Bugh

Bugh

Bugh

Ia membabi buta, menghantam Devan tanpa henti. Musuhnya itu memang sesekali perlu diberi pelajaran. Dulu, Arsen sempat berbicara baik-baik, mencoba untuk berdamai. Namun Devan dengan licik menjebak dan menghabisi Arsen bersama teman lainnya.

Kini, tidak ada ampun bagi Devan. Ia telah mengusik ketenangan seorang Arsenio Raymond. Devan terkapar lemah, menyisakan sedikit tenaganya.

"Peringatin cewek lo, sebelum lo coba-coba berurusan sama gue!"

Bugh

Terakhir Arsen meninju wajah sang musuh, lalu pergi dengan motor spot-nya. Di sela kesakitan Devan, cowok itu tersenyum tipis. Menahan sedikit perih di pipinya. Inilah yang ia inginkan.

Seseorang dari balik pohon keluar, dengan sebuah ponsel yang ia gunakan untuk merekam. Lalu membantu Devan yang tak berdaya. Satu senjata telah  didapatkan untuk menghancurkan mereka.

°°°°


ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang