34. Satu Demi Satu

761 52 1
                                    

Terimakasih udah dukung cerita ini,💙💙💙

°°°°

Makanan di meja sudah habis setengahnya, begitupun soto di mangkuk milik Rin yang tinggal separuh. Jam istirahat membuat para murid seolah-olah balas dendam usai tiga jam pertama lelah untuk berpikir.

Apalagi menu masakan mak Jumi yang tidak bisa diragukan lagi kelezatannya. Baru istirahat pertama, kadang mak Jumi sudah kehabisan nasi. Selain masakan yang enak, mungkin anak Nusa Cempaka dua, rata-rata memiliki hobi makan.

Setengah mangkuk tersisa, namun Rin tak melanjutkan makannya. Entahlah, sejak pagi gadis itu sering melamun dan gagal fokus. Kedua sahabatnya yang tidak tahu menahu penyebabnya pun hanya saling tanya dan memberi kode.

Gadis itu hanya memainkan sendok, mendentingkannya di tepi mangkok. Lelah melihat sahabatnya bertindak tidak sewajarnya, Dinda menahan tangan Rin yang digunakan untuk memegang sendok.

"Lo kenapa?" tanya Dinda tanpa basa-basi.

"Heum," Tidak menjawab, gadis itu malah melengkuh lemas, menyandarkan dagunya di atas meja.

"Rin, lo anggap kita apa sih? Cerita dong!" desak Silla melihat Rin yang terus saja diam.

Rin menoleh pada kedua temannya bergiliran. "Devan...," Ia mengusap air matanya sebelum merembas ke pipi. Tidak tega melihat sahabatnya seperti itu, Silla dan Dinda merapatkan kursinya, dan memeluk gadis itu untuk memberikan ketenangan.

"Udah, jangqn diterusin kalau belum siap cerita," ucap Silla dengan tulus.

"Devan nggak sepenuhnya sayang sama Rin. Dia ... dia manfaatin Rin buat hacurin kak Arsen. Devan itu ... devan itu ... hiks!" Ia semakin mengeratkan pelukannya pada kedua sahabatnya. Teringat rekaman Devan yang tidak ingin ia dengar lagi.

"Jangan dilanjutin, dia bukan orang baik-baik," nasihat Dinda berharap kali ini sahabatnya itu mau mendengarkannya.

"Oh iya, kalau Arsen gimana? Gue dengar dari Angga, kalian...,"

"Kita udah baikan! Kemarin kak Arsen udah maafin Rin. Rin janji, nggak akan bikin dia marah lagi!" Seketika kesedihannya hilang, menerbitkan senyum khas dari bibirnya. Mungkin letak kebahagiaan Rin hanyalah pada Arsen. Silla sengaja mengubah topik untuk melihat reaksi sahabatnya. Dan lihat saja, apa yang telah terjadi membuat kedua sahabat Rin yakin akan satu hal.

"Lo udah cerita kalau kalian-"

"Belum! Rin belum siap. Rin takut kalau kak Arsen nggak suka sama Rin," ucap gadis itu memotong kalimat Dinda. Tentu, itu membuat Silla yang tidak tahu menahu menjadi bingung.

"Yaudah apapun yang lo lakuin buat kebaikan lo, kita selalu dukung. Iya, 'kan Sil?" Yang disebut mengangguk pasti sembari meng'iya'kan ucapan Dinda.

Namun ekspresi Sila berubah kala melihat dari jauh, seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu meneguk salivanya, tidak siap bertemu kembali dengan cowok yang menjadi pacarnya beberapa bulan terakhir ini.

"Ehm!" Mereka menoleh seseorang yang berdehem di belakang Dinda. Tidak dengan Silla yang sudah tahu sebelumnya, gadis itu memilih untuk menunduk.

"Ikut peyuk dong! Uluh kayak teletubish," ucap cowok yang tak lain adalah Brian dengan nada dibuat-buat.

"Dasar ya, cowok Alay!" cercah Dinda geli melihat ekspresi wajah Brian.

"Hehehe, sayang ikut aku yuk! Ada kado spesial buat kamu!" Brian menaik turunkan kedua alisnya, menunggu jawaban sang pacar. Yang diajak bicara malah kebingungan, entah apa yang ia gunakan untuk menolak Brian.

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang