21. Kali kedua

824 58 1
                                    

Happy reading.

Kali ini nggak ngasih target vote/viewers. Kalian nggak bisa diajak kerja sama. ✌✌

Kandidat pemenang give away berkurang. Kesempatan buat kamu yang pengen menang nih!!! Semangat!!!

°°°°

Langkah kakinya menapak halaman sekolah. Selalu ceria dan bersemangat, itulah Rin Aquila. Pagi ini, suasana sekolah masih sepi. Hanya ada segelintir siswa rajin yang sudah hadir di salah satu SMA favorit ini.

Ia melihat jam berwarna merah muda yang melingkar di pergelangan tangannya. Ah, kelas pasti masih sangat sepi. Akan lebih baik jika ia mencari buku bacaan di perpustakaan.

Rin memantapkan diri, lalu menyusuri koridor untuk sampai di tempat baca.

Gadis itu membuka tali sepatunya, lalu meletakkan sepatu di rak yang tersedia. Ia menarik pintu perpustakaan yang sudah tidak terkunci.

Sepi. Namun itulah suasana nyaman yang pantas untuk tempat membaca. Ia menyusuri rak buku, lalu mengambil sebuah novel untuk ia baca.

Rin hanyut dalam buku bacaannya. Ia memilih novel ukuran tipis, memperkirakan akan selesai ia baca sebelum bel masuk berbunyi.

Satu jam lebih gadis itu di sana, akhirnya selesai juga satu novel yang ia baca. Begitulah si kutu buku, membaca novel hanya butuh sekali duduk layaknya membaca cerpen. Ia menyelipkan kembali bukunya di tempat semula, lalu memilih satu novel lagi untuk ia pinjam.

Telunjuknya menyelusuri jajaran buku fiksi. Memilih judul yang menarik. Tiba-tiba saja jari telunjuk itu terhenti. Menabrak sebuah buku yang sedikit keluar dari barisan buku. Hendak merapikannya kembali, Rin tersadar dengan novel itu. Bukunya masih tersegel dalam plastik.

Oh, cepat sekali petugas perpustakaan update novel terbaru? Padahal Rin belum menemukan novel ini di toko buku. Beruntung sekali ia menemukannya di perpus, dan bisa membaca dengan cuma-cuma.

"Propaganda Rasa- oleh Syafira Azifa," Rin membaca judul bukunya, mengamati sampul putih bermotif kotak-kotak tak beraturan, dan terdapat tiga orang di tengah garis segitiga. Simpel, tapi menarik baginya. Baru saja beberapa minggu lalu ia sempat membaca cerita versi wattpad-nya, kini ia sudah bisa membaca dalam versi cetak.

Ia lalu menuju sebuah meja, menulis di buku daftar pinjam, dan bergegas untuk ke kelas. Lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi, ia tidak mau ketinggan mata pelajaran kesukaannya. Bahasa Indonesia.

"Habis dapat novel, nggak bilang terimakasih?" Rin gelagapan, dan menoleh ke belakang. Sejak kapan cowok itu di sana?

"Loh, sejak kapan kak Arsen di sini?" tanyanya masih sulit berpikir.

"Itu bukan jawaban yang gue perluin."

Rin menghela napas sabar, lupa jika yang diajak bicara ini adalah cowok yang tidak suka basa-basi.

"Oke, terimakasih kak Arsen udah bersedia nyumbang novel di perpustakaan," ucapnya dan kembali mengamati novel yang dipegangnya.

Di hadapannya, Arsen mengrenyitkan dahinya. "Gue nggak nyumbang," sangkal Arsen tak bernada. Tentu membuat Rin berubah bingung.

"Itu buat-"

"Sen, di sini ternyata. Dicariin pak kepala sekolah noh. Buruan, udah ditunggu." Seorang siswa laki-laki yang kelihatannya teman sekelas Arsen itu menarik tangannya.

Rin hanya menolehnya acuh, lalu bergegas memakai sepatu. Senyumnya mengembang menandakan ia sangat bahagia pagi ini. Tanpa Arsen beri tahu, Rin paham apa maksud sang kakak. Jangan lupa kalau gadis ini pandai membaca karakter seseorang, wajar jika ia mudah peka.

°°°°

Kantin kembali dipenuhi oleh jiwa-jiwa kelaparan. Tak sedikit pula siswi-siswi kecentilan yang haus perhatian dan belaian dari para cogan di sekolahnya juga turut di sana.

Di satu meja tiga orang siswi menikmati semangkuk soto lezat buatan mak Jumi. Tidak, satu siswa di antaranya membiarkan kuah sotonya dingin. Senyum dan lamunannya tak henti menguasai wajah manis miliknya.

Bahkan ketika dua sahabatnya mengajak bicara, gadis itu sama sekali tidak menanggapi. Tentu membuat mereka sedikit kesal, namun sebentar mulai memaklumi.

"Acie yang habis di kasih novel," Rin tersentak kaget. Ia tidak sepenuhnya melamun ternyata. Buktinya ia masih bisa merespons ucapan Silla. Ia terkejut, menutup mulutnya tidak percaya.

"Ko...kok Silla tahu?"

"Silla selalu tahu semuanya," jawabnya menyombongkan diri.

"Itu kalimat milik Rin!" Ngegas, tidak terima, Rin membuat sahabatnya terkekeh.

Dinda menyedot es teh di gelas, menyaksikan perdebatan dua sahabatnya. Melihat Rin yang seketika tersenyum kecut, karena Silla mengutip kalimat andalannya.

"Nggak cuma novel kok, kemarin juga kita jalan bareng. Kak Arsen kasih Rin boneka." Pernyataannya membuat dua sahabatnya tidak percaya. Seorang Arsen? Mana mungkin? Mereka lebih dulu kenal Arsen sebelum Rin. Arsen terkenal ketus dan dingin pada semua cewek. Entah apa yang membuat teman-temannya malah banyak menyukai cowok itu.

"Kalau gue sih percaya. Soalnya nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, kan?" respons Silla sok bijak, membuat Dinda melemparkan tisu bekasnya.

"Soalnya nih ya, kayaknya dari perlakuan Arsen, dia udah mulai ada rasa sama lo, Rin!" lanjutnya, dan Dinda mengangguk setuju kali ini. Mengingat Rin yang selalu bersama Arsen, bisa saja ada perasaan yang tumbuh di sana.

"Nggak mungkin lah, kalian ini gimana sih?" Rin menyangkal pernyataan sahabatnya yang dianggap keliru. Membuat Arsen jatuh cinta padanya sama sekali tidak ada dalam list misinya.

"Apanya yang nggak mungkin?"

"Kak Arsen itu kakaknya Rin. Kita bukan sekedar kakak adek bohongan. Ini nyata!" sangkalnya lagi membuat kedua sahabatnya terdiam. Rin memang terlihat polos. Entah bagaimana gadis itu bisa menganggap cowok yang tidak ada hubungan darah sebagai kakaknya. Mungkin ia terpengaruh oleh novel-novel yang dibacanya.

"Aduh duh, timbang cowok hasil rebutan aja bangga!" Percakapan mereka ternyata terdengar oleh dua gadis yang tak jauh dari mejanya. Dua gadis itu tertawa, setelah salah satunya mengatakan kalimat yang ditujukan untuk Rin.

"Cuma buat pelampiasan kok, nanti juga balik sama lo, Ra." Gadis itu adalah Febi, ia tampak berbincang dengan sahabatnya. Rin tidak suka mendengar hinaan yang ditudingkan untuk dirinya. Tapi ia berusaha menahan diri untuk tidak berbuat satu hal yang tidak berguna baginya. Menuli, adalah pilihan terbaik ketika banyak orang merendahkan seseorang.

Ia menahan Silla yang sudah terbawa amarah. Akhirnya, Rin membawa sahabat-sahabatnya untuk menjauh dari sana. Ia tidak suka keributan.

Dari satu sisi, ia menyadari. Dirinya lah yang bersalah, karena membuat sikap Clara berubah setelah putus dari Arsen. Rin percaya, sebenarnya mantan pacar kakaknya itu gadis baik. Maka dari itu ia sangat mendukung hubungan mereka.

Tapi, siapa yang mampu mengganggu gugat keputusan Arsen? Mungkin nanti, Rin akan berusaha bicara dengan cowok itu. Bukan karena lelah dibuli, namun ia tahu apa yang terbaik untuk kakaknya.

°°°°

Salam,

Syafira Azifa

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang