Membuat Jarak

180 11 0
                                    


"Bagaimana bisa Justin melibatkan gadis sebaik dia dalam taruhan ini?"Tanya David entah pada siapa.

Dia tengah menatap Anisa dari balik kaca mobilnya tanpa berniat untuk menyapanya, gadis itu tengah membantu seorang kakek bertongkat menyebrang jalan. 

Dia bukannya tak mau peduli lagi tapi saat ini, Anisa benar-benar tidak ingin berbicara padanya. Padahal sebelumnya, dia akan menjawab setiap pertanyaannya walaupun dalam keadaan kesal.

Tapi kali ini berbeda, bahkan Anisa enggan untuk menjawab salamnya. Padahal gosip mengenai hubungan mereka sudah dia luruskan, memposting disetiap akunnya bahkan mengomentari setiap postingan mengenai dirinya dan Anisa dengan mengancam untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Sampai berita itu benar-benar hilang.

Ck, terdengar berlebihan memang. Namun hanya itu yang bisa dia lakukan untuk membuat Anisa mau memaafkannya walaupun itu bukan kesalahannya sepenuhnya.

Aneh, Davidpun merasa aneh dengan perasaannya. Ada apa dengan sikap berlebihan itu. Bahkan ketiga sahabatnya ikut berkomentar pedis dengan perubahan sikapnya. Memaksa David membuat jarak dengan ketiga sohibnya itu. Padahal dukungan merekalah yang paling David butuhkan saat ini tapi nyatanya mereka tidak berpihak padanya.

Itu sudah sepekan berlalu, entah mengapa sikap diam Anisa membuat David merasa tak nyaman, padahal dulu dia bersikap cuek dengan semua permasalahannya dengan para gadis yang dia kencani. Tapi kali ini berbeda.

Diapun menyibukkan diri untuk bertemu dengan Heri, tak tanggung-tanggung, shalat lima waktu dia kerjakan secara berjamaah dimasjid Akbar hanya untuk menyapa lelaki itu. Tak jarang pula, dia menunggu waktu shalat isya sembari belajar mengaji dengan seorang ustadz yang dikenalkan oleh Heri.

Entahlah, itu yang diinginkan hatinya saat ini. Dia merasakan ketenangan dengan apa yang dia lakukan dalam sepekan itu, ketenangan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya bahkan saat bersama ketiga sohibnya.

Seperti tampak sore ini, mobil sportnya melajuh untuk menghadiri majelis ilmu, dia mulai mengikuti kajian rutin komunitas pemuda teman hijrah pada malam ahad
tentu dengan mengabaikan ajakan para sahabatnya untuk bermalam mingguan seperti biasa. 

Tak sama pada awalnya, kali ini niatnya benar-benar untuk mengkaji ilmu agama tanpa peduli keberadaan Anisa yang benar-benar mengabaikannya.

***

"Gue benar-benar salah mengartikan cinta selama ini Ri" Ujar David sedikit menyinggung materi kajian tadi yang kebetulan membahas masalah jatuh cinta dalam Islam, membuat David menyadari kesalahannya selama ini dalam mengartikan kata sakral itu.

Heri tersenyum. "Alhamdulillah kalau Abang udah paham" Ujarnya sembari bersandar pada dinding masjid memperhatikan orang-orang yang mengantri untuk keluar masjid.

Mereka memilih untuk menunggu hingga peserta benar-benar habis karena tak ingin berdesakan.

"Hm, jika cinta maka nikahi, jika belum siap maka jauhi" David tersenyum, mengulang kalimat yang diucapkan oleh ustadz yang memberikan materi kajian tadi. Matanya pun sibuk menatap objek yang sama dengan Heri.

"Itulah cinta yang didasari dengan iman bang, menikah adalah solusi bagi dua insan yang saling mencintai tanpa harus pacaran, Insya Allah cinta yang seperti ini akan sampai surga bang" Ucap Heri

"Gue belum siap dengan itu"

"Menikah?" David mengangguk.

"Belum siap dari segi apa? Lahiria? Atau batinia?" Goda Heri lalu terkekeh. "Allah akan memampukan setiap hambanya yang berniat menjalankan syariatNya bang, jadi Abang engga usah takut nikah muda" Lanjutnya. "Lagian halal itu indah bang, beda sama pacaran, semua hanya bernilai dosa sementara dalam pernikahan semua bernilai pahala" tambahnya lagi

Thank You and I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang