Saat sore tiba, aku pulang bersama dengan Lohan, Johan, dan Haikal. Mereka sepakat untuk makan sebelum pulang kerumah. Aku hanya meng-iya kan karena jujur, aku pun lapar. Aku belum makan apapun setelah istirahat tadi siang.
"Lo mau makan apa?" Haikal bertanya padaku sambil menepuk pundakku.
"Terserah. I'm fine with everything." Ucapku tanpa mau membaca menunya. Aku sungguh tak ingin membaca menunya karena jika aku membacanya, pasti aku akan meminta banyak.
"Baiklah. Pesankan dia air putih saja." Ucap Haikal senonoh. Aku memelototi dia tapi dia malah membalas perbuatanku. Aku menyerah karena aku berkedip duluan. "HAHA! Lo kalah!"
Aku hanya diam tak menjawab ocehannya.
"Kamu sungguh ingin terserah?" Tanya Lohan.
"Iya. Pilihkan gua apa aja." Aku menaruh kepalaku pada meja.
Mereka memilih makanan aku malah sibuk berfikir. Sebenarnya aku berfikir hal yang tak penting. Tapi tetap saja aku berfikir hal itu.
"Oya. Sebentar lagi ada ujian kenaikan. Tolong ajari aku. Plissss." Seimut apapun itu aku tak akan pernah mengajari Haikal. Karena memang ia sulit untuk diajari. Disuruh belajar, 5 menit saja dia tak akan kuat. Alasan yang selalu ia keluarkan adalah 'perutku sakit aku mau ke toilet.' Dan dia akan ketoilet sampai satu jam atau lebih. Itu basic saja. Kalau saat menjelang kenaikan kelas dia selalu memintaku untuk mengajarinya tapi saat hari-H dimana aku mengajarinya, dia malah 'sori han. Aku ada acara keluarga.' Tapi sebenarnya tidak.
Dia sungguh malas. Sudah malas nggak pinter lagi. Walau kadang aku suka menyepelekannya, dia tak akan mendengarkanku, ia hanya akan bilang 'biarlah.' Yasudah aku bisa apa.
Ps. Haikal itu gue banget.
"Bangun woy. Makanannya dah sampek. Mau tidur terus?" Ucap haikal sambil memukul kepalaku.
"Lo nggak harus memukulnya kal. Gua pukul juga lo!" Tanganku sudah siap memukul tapi tatapan tajam Johan membuatku mengurungkan niatku untuk memukulnya. Aku ingin berpacaran saja sama johan. Lohan bahkan tak peduli tadi aku dipukul.
Haikal akan berbicara terus walau mulutnya sudah disumpel nasi dan lauk pauk. Kadang ada nasi yang terbang dari mulutnya dan jatuh ke meja. Itu sungguh menjijikan.
"Pelan pelan makannya haikal." Ucap Johan sambil membersihkan sudut mulut haikal.
"Iya iya." Ucapnya saat nasi itu masih berada dimulutnya.
Aku iri dengan sikap mereka kepada satu sama lain. Rasanya aku ingin mengubur Lohan hidup hidup.
Aku makan sambil menampakkan muka masamku. Jika saja Lohan seromantis itu padaku, aku pasti akan langsung jatuh cinta padanya. Aku hanya berharap aku lebih sayang pada Johan daripada Lohan.
"Kamu kenapa Rehan?" Tanya Lohan. Aku tak menjawab dan melanjutkan makanku. Sampai aku merasakan ada tangan yang mengusap pahaku. "Rehan. Jawab!" Walau terdengar tenang tapi nada itu penuh dengan tekanan.
"Nggak apa apa!" Aku melanjutkan makanku sampai Lohan pun juga melanjutkan makannya.
"Gua mau ketoilet dulu." Ucap Haikal lalu berdiri dari tempat duduknya.
"Aku juga." Johan segera bangun dari duduknya dan berlari mengejar Haikal.
Suasana canggung menyelimuti kita berdua. Sungguh suasana yang tak diinginkan siapapun jika sedang berkencan. Kita berkencan? Tentu saja tidak. Tapi anggap saja begitu.
"Kamu sungguh nggak apa apa?" Tanya nya sekali lagi.
"Iya. Gua nggak apa apa." Ucapku sambil menatap pucuk hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And My Twin Boyfriend
RomanceRehan? Hmm.. nggak jarang orang benci padanya karena sikapnya yang seenaknya. Kadang guru tak jarang geram karena sikpanya yang entah turun siapa. Tapi rehan pun tak jarang disukai banyak orang karena keimutannya. Rehan pun pernah dengan sengaja iku...