"Bi, Bi Inem!" Suara briton itu menggema disetiap sudut rumah. Sang empu berjalan lunglai mencari cari seseorang.
Mendegar teriakan dari tuannya, dengan langkah cepat bi Inem menghampiri dan melihat Tuannya berjalan sempoyongan sambil memegang kepalanya. Bi Inem bergegas membantunya berjalan ke arah shofa, "Aduh pak, ada apa ini teh? Kok bapak kelimpungan gini," Ujar bi Inem dengan nada paniknya.
"Berisik. Saya ingin minum," Ujar Hendra Pramudya. Ayah kandung Ayana.
Bi Inem meringis saat mencium bau alkohol yang sangat kuat. Bahkan bi Inem hampir muntah karna tak tahan. Bi Inem membantu Hendra duduk di shofa yang ada diruang tengah. Sesekali Hendra meracau entah menyebutkan apa. Bi Inem berdiri dan berlari kearah dapur mengambil air putih untuk Hendra. Sesaat kemudian, Bi Inem memberikan itu kepada Hendra, tapi dengan kasar Hendra menangkisnya hingga gelas itu pecah. "Berikan saya minuman anggur," racaunya.
Bi Inem terkesiap, matanya menatap shock Hendra. "Disini tidak ada minuman anggur tuan,"
"BOHONG!" bentak Hendra. Matanya merah menyala, eskpresi wajahnya tak terbaca. "Berikan saya anggur merah," ujarnya dengan suara tawa diujung kalimat.
Bi Inem semakin kalut, tubuhnya bergetar ketakutan. Ini memang bukan pertama kalinya, tuannya pulang dengan keadaan mabuk.
"BERIKAN SAYA MINUMAN ANGGUR, SIALAN! CEPAT." Hendra tetap meracau tangannya memukul pinggir shofa dengan kasar.
Bi Inem Semakin takut, dia memilih pergi meninggalkannya tuannya yang sedang meracau. Bi inem masuk dan mengunci pintu kamarnya, tangannya bergetar, nafasnya memburu ketakutan. Disaat seperti inilah bi Inem merasa tidak nyaman, buru buru bi Inem menelpon satu satunya orang yang bisa menghadapi tuannya itu.
***
Ayana mengusap wajahnya frustrasi. Baru saja Ayana mendapat terlpon jika papanya berbuat ulah lagi. Ayana mengepalkan tangannya, hingga buku buku jarinya berubah warna."Ngapa lu Yan? Ekspresi lo kok kayak nahan boker gitu," ujar Anto saat menyadari ada yang aneh dengan sahabatnya.
Lantas semua sorot mata yang saat itu satu meja dengan Ayana menoleh kepadanya. Ayana membuang nafasnya kasar dengan mata tertutup. "Gak apa apa gue cuma lagi ada masalah," Ayana berdiri dan mengambil tas ranselnya yang tergeletak diatas meja, "gue balik dulu," Ayana berjalan meninggalkan warung mbok Wati tanpa menunggu jawaban teman temannya.
"Ayana kenapa, To? Kok kayak buru buru gitu," Tanya Satya sambil menepuk pundak Anto.
Anto menggeleng pelan, "gue juga gak tau, dia selalu kayak gitu, pergi tiba tiba kek hantu,"
"Dia gak cerita apapun ke lo?" Kali ini Izal yang bertanya.
Anto lagi lagi menggeleng pelan, "Ayana orangnya tertutup, dia ga pernah cerita apapun ke gue, bahkan rumahnya aja gue gak tau dimana,"
"Iya sih kita gak pernah maen kerumah si Ayana ya," gumam Satya dengan raut wajah mengira ngira.
"Udahlah mungkin Ayana lagi ada masalah pribadi, kita gak usah ikut ikutan," Roni menatap teman temannya satu persatu sambil menghembuskan asap rokok dengan tenang.
Anto dan yang lainnya hanya mengangguk paham. Mereka melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Dalam hati, Anto masih bertanya-tanya ada apa Dengan Ayana? Kenapa dia selalu menghindar saat dirinya bertanya menyangkutkan keluarga? Ada apa dengan keluarganya? Setau Anto keluarga Ayana itu baik baik saja, tak ada gosip miring.
***
Ayana membanting pintu rumahnya dengan kasar. Tangannya sudah terkepal kuat. Sorot matanya tajam dan menusuk. Sudut matanya melihat sekeliling dan menemukan seseorang yang dia sebut papa sedang terkapar di sofa dengan keadaan mengenaskan.

KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Ficção AdolescenteKarna kekayaan bukan sumber kebahagiaan. Kadang obrolan kecil bersama orang tersayang adalah kebahagian yang sesungguhnya.