16

7 0 0
                                    

Ayana duduk dengan berkas berkas yang bertumpukan didepannya. Kacamata bacanya membantu matanya meneliti setiap deretan huruf demi huruf dengan teliti. Ayana membenarkan letak kacamatanya, matanya menyempit kala membaca deretan angka yang menurutnya kurang akurat. Tangannya dengan terampil memberi tanda menggunakan pensil khusus yang ia punya.

Tangan Ayana mengambil telpon kantornya sembari menempelkannya dekat telinganya, ‘’tolong keruangan saya segera.’’

Tut. Ayana mematikan telpon tanpa mengalihkan matanya dari berkas berkas di tangannya. Tak berselang lama pintu kantornya diketuk, ‘’masuk,’’ ujarnya.

‘’ibu manggil saya,?’’

Ayana membuka kacamatanya dan melirik Maya sekilas, ‘’duduk dulu,’’

Maya menurut. ‘’ada yang perlu saya bantu, bu?’’

Ayana menyerahkan berkas yang ia genggam, salah satu jarinya menunjuk deretan angka yang sudah ia beri tanda. ‘’apa maksud ini semua Maya? Omset perusahaan kita menurun 6% dari bulan lalu?”

maya menghela nafas, ‘’sejak bulan kemarin omset  dan kinerja perusahan menurun sedikit demi sedikit bu, ditambah pengkianatan yang dilakukan pak Darma beberapa minggu lalu,’’

Ayana menghembuskan nafasnya kasar, ‘’kiita harus segera bertindak Maya, jika terus begini perusahaan bisa saja bangkrut,’’ sekali lagi Ayana menghembuskan nafasnya kasar, ‘’tapi saya tidak tau harus berbuat apa, saya masih awam.’’ Ujarnya lemah tak berdaya.

Maya terdiam memperhatikan wajah kebingungan bos mudanya, ‘’jika tender yang sedang ibu bina dengan pak Gunawan berhasil, itu bisa memperbaiki omset perushaan bu, keuntungan yang kita dapat bisa 2x lipat,’’

‘’saya tau, tapi itu butuh waktu yang sangat lama Maya, proyek kami baru saja dimulai.’’

‘’tidak jika kita bekerja lebih keras lagi bu, tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha.’’ Ujar Maya dengan senyum kecilnya, seolah memberi semangat lewat senyuman itu.

Ayana tersenyum, ‘’tidak salah memang saya memilih kamu sebagai sekertaris saya,’’

Ayana berdiri semabri menepuk pundak Maya, ‘’tolong kamu bereskan berkas berkas saya, saya butuh udara segar,’’
Ayan berjalan meninggalkan Maya setelah mendapat respon baik dari asistennya itu.

Ayana berjalan dimana mobilnya terparkir. Mobil Honda jazz merah mengkilap menggantikan mobil sport kesayangannya. Ayana mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, tujuannya sekarang adalah rumah Lita. Ayana berniat mengajak sahabatnya itu shopping, setelah sekian lama ia tak memanjakan dirinya.

Hampir satu jam lebih Ayana bergulat dengan macetnya jalanan di sore hari, akhrnya Ayana sampai didepan rumah sederana dengan taman didepan rumah yang menyejukan mata. Ayana turun dan berjalan sembari mengetuk pagar rumah yang diberi cat warna putih tulang itu.

‘’eh non Ayana, udah lama ibu engga liat non, kemana aja?’’ ujar ibu ibu paruh baya sembari membukakan pagar.

Tangannya terulur begitu lebar, Ayana menyambut pelukan itu dengan senang hati, Ayana kembali merasakan kenyamanan pelukan seorang ibu, ia tak henti hentinya tersenyum.

‘’Ayana kan sering bilang jangan panggil Ayana pake sebutan non, Ayana bukan bos Bu,’’ ujar Ayana sembari melerai pelukan.

Ibu itu hanya membalas dengan senyuman, ‘’ibu gak lupa lho kalau kamu bos dari perusahaan teresar dikota ini,’’ uarnya sembari menggoda Ayana.

Ayana tertawa kecil, ‘’ ibu bisa aja, eh bu Lita nya ada?’’ mata Ayana melirik sekitar rumah yang tampak sepi.

‘’ada, tuh lagi berantem sama adek nya, yuk masuk’’

AYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang