Meeting Ayana bersama rekan kerjanya hampir usai. setelah Ayana menyelesaikan presentai dan menjelaskan keuntungan yang akan didapat apabila berkerja sama dengan perusahaannya, Ayana menyudahi dengan senyum menawan mendapat tepukan tangan dari semua orang yang hadir pada meeting itu.
‘’Saya setuju dengan usul ibu, saya kira kita bisa segera tanda tangan kontrak,’’ ujar pak Gunawan, CEO dari perusahaaan yang akan bekerja sama dengannya.
Ayana tersenyum tipis, ‘’terimakasih pak, sekertaris saya akan mengatur pertemuan selanjutnya dan menghubungi bapak secepatnya,’’
Pak Gunawan mengangguk paham. Ia berdiri diikuti sekertarisnya, berjabat tangan dengan Ayana dan beberapa rekan kerja yang lain, ‘’senang berbisnis dengan anda, semoga semua bisa berjalan sesuai rencana.’’ Ujar pak Gunawan saat berjabat tangan dengan ayana.
Ayana mengangguk dan tersenyum tipis,
‘’sepertinya anda masih muda, kemana pak Hendra? Saya sudah lama tidak melihatnya,’’ tanya nya.
‘’ayah saya sedang diluar negeri pak, jadi saya yang menghandle semuanya,’’ Ayana menelan ludah nya dengan susah payah.
‘’Sampaikan salam saya kepada beliau ya,’’ ujar pak Gunawan sambil berlalu menuju pintu luar.
Ayana hanya tersenyum miris, berbohong untuk kesekian kalinya.
Om Arya menepuk pundak Ayana pelan, ‘’sudah tidak perlu sedih, rayakan keberhasilanmu memenangkan tender sebesar ini dengan senyuman bukan kesedihn Ayana,’’ ujar om Arya dengan bijaksana.
Ayana tersenyum dan mengangguk, ‘’pasti om. Terimakasih telah membantu Ayana selama ini, Ayana tidak bisa seperti ini jika tidak ada om.’’
‘’kamu memang pintar seperti mama kamu dulu.’’
"Mama juga pintar ya, Om? Menurut Om, mama seperti apa?" Suara Ayana terdegar gelisah dan lesuh.
"Om mengenal mama mu sejak Om kuliah Ayana, Mama mu orang baik, cantik, dan pintar, sepertimu," Ujar Om Arya sambil mengelus lembut rambut Ayana.
Ayana tersenyum tipis dan mengangguk. Otaknya kembali foto yngditunjukan parto saat itu membuat hatinya terenyuh, apakah itu benar ibunya yang selama ini ia cari? Mengapa bisa berubah 180°?
***
Ayana baru saja duduk dikursi kebesarannya, menikmati empuknya kursi dikejutkan dengan suara ponselnya diatas meja. Ayana mengerang kesal, ‘’gak bisa apasehari aja gue tenang?’’ keluhnya.Ayana melihat layar ponselnya, JELITAI tertera begitu jelas. Ayana menolak telpon jelita dan kembali bersandar dengan mata terpejam, merasakan otot ototnya meregang. Namun, kembali terdengar dering telpon dari ponselnya, ayana mendesah dan mengacak rambutnya prustasi. Tanpa melihat siapa yang menelponnya, ayana menggeser asal layarnya hingga beberapakali sampai akahinya tersambung, ‘’APA?’’ ujar ayana dengan nada yang terdengar kesal.
‘’ samtai dong cantik, kenapa sih selalu marah marah sama abang?’’
Tubuh ayana menegang, bulu kuduknya berdiri tegak, matanya melotot kaget dengan mulut setengah terbuka. Ayana mengenal suara ini, suara yang membuatnya takuat akhir akhir ini. Ayana menjauhkan ponselny dari telinganyadan melihat siapa yng menelponnya. No tidak dikenak. Tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya.
Insting ayana semakin kuat, dengan tangan yang bergetar dan mulut yang kaku ayana mendekatkan ponselnya ke telinganya, ‘’si------ apa?’’ ujar ayana dengan nada terbata bata.
Terdengar kekehan disebrang sana, yangsayangnya ayana anggap suara yang menyeramkan.
‘’ hallo sayang ini aku, Elzion edgar ramedja,’

KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Fiksi RemajaKarna kekayaan bukan sumber kebahagiaan. Kadang obrolan kecil bersama orang tersayang adalah kebahagian yang sesungguhnya.