Disebuah cafe yang dipenuhi gemerlap lampu berwarna warni, ada dua wanita cantik sedang duduk berhadapan dipojok cafe. Satu diantaranya tampak gelisah, terlihat dari sorot mata sayunya. Wanita itu adalah Ayana pramudya konings, wanita cantik yang memiliki kulit putih bersih, wajah blasteran Indonesia-Belanda begitu kental. Rambut coklat yang dikuncir kuda berdiri tegak dengan ujung rambut yang sedikit Curly.
"Suruhan gue belum bisa menemukan mama Lit. Gue harus gimana lagi sekarang? Gue capek berusaha terus menerus tapi hasilnya nihil," Ayana mendesah berat. Matanya terpejam menahan sesak di dada, mengingat percakapan antara dirinya dan suruhannya tadi pagi membuatnya sesak.
Lit atau yang bernama lengkap Jelita Putri adalah sahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Waktu itu jelita pendatang dan belum memiliki teman. Dengan senang hati Ayana mengajaknya berteman dan hingga saat ini mereka berdua menjalin persahabatan. Meskipun saat ini mereka tak satu SMA, karena mengingat ekonomi Lita yang tak setinggi Ayana, membuatnya harus memilih sekolah biasa saja. Berbeda dengan Ayana yang sekarang bersekolah di sekolah ternama di kotanya. Tentu saja orang yang bersekolah di sana, bukan orang biasa. Mengingat betapa mahal dan elite sekolahnya.
Jelita menarik napas panjang. Tangannya mengusap tangan Ayana sambil berkata lirih dan sendu, "Jangan nyerah gitu aja Ya. Gue yakin mama lo pasti cepat ketemu, lo harus lebih sabar lagi," ujarnya.
"Gue capek Lit. Suruhan gue bilang kemungkinan mama udah enggak di Indonesia lagi. Belum lagi, papa yang semakin berulah. Gue benci orang yang sayangnya gue panggil papa." Terbesit nada amarah di kalimat terakhir yang diucapkannya. Tangannya terkepal dengan sendirinya.
"Gue gak tau harus berbuat apa, Ya. Gue cuma bisa berdoa semoga semua baik baik saja. Lo gak boleh nyerah gitu aja, gue tau lo gadis yang kuat Ya," Jelita tersenyum lembut pada sahabatnya. Tangannya menepuk nepuk punggung tangan Ayana.
Ayana hanya tersenyum kecil dan tak lupa mengatakan terimakasih pada sahabatnya yang telah menemani dan memberinya semangat, Ayana tak tau jika tak ada orang orang seperti Lita pada saat kejadian itu, mungkin dirinya sudah menyerah dan memilih mengakhiri hidupnya. Membayangkannya saja sudah membuatnya berbidik ngeri. Lelah dengan pemikiran kalutnya Ayana menyandarkan kepalanya, tangannya memijat pelipis dengan gerakan pelan. Deru nafasnya tampak tak beraturan.
Hati Lita tertusuk melihat bagaimana nasib sahabatnya. Lita bisa merasakan apa yang dirasakan Ayana saat ini. Dari sini dia tau bahwa harta bukanlah segalanya. Ayana punya segalanya, dengan kekayaan yang tak akan habis hingga anak cucunya. Keluarganya terkenal dengan bisnis propertinya. Tapi itu semua hanyalah semu. Nyatanya uang tak bisa membeli kebahagiaan. Lita bersyukur, meskipun dia tidak sekaya Ayana, tapi dia masih memiliki keluarga yang lengkap. Lita tak habis fikir, mengapa orang sebaik Ayana bisa diterpa ujian yang begitu berat.
"Lit, gue balik duluan ya, lo gak apa apa gue tinggal? Atau mau gue anter pulang?" Ayana menatap sahabatnya tak enak hati. Mana mungkin Ayana tega membiarkan sahabatnya pulang sendiri, sedangkan tadi dia yang menjemputnya.
Lita tersenyum dan menggeleng. "Santai aja kali, Ya. Lagian rumah gue kan deket dari sini, kalau mau pulang duluan ya gak apa apa,"
Ayana bernafas lega. Tadinya ia tak tega meninggalkan Lita sendirian. "Yaudah gue balik duluan, ya" Ayana mengambil tas selempang ber-merk nya yang tergelatak dimeja cafe.
"Take care Ayana" mendengar perhatian sahabatnya membuatnya bibirnya tersenyum simpul.
***
Mobil sport merah pemberian dari sang kakek berhenti tepat didepan rumah mewahnya. Ayana turun dengan wajah datar dan lesuh. Hal pertama yang menyambutnya adalah keheningan. Ayana menghembuskan nafasnya kasar sambil terus melanjutkan langkahnya kelantai dua dimana kamarnya berada. Rumah yang dulunya ramai, kini berganti menjadi sunyi. Rumah ini hanya diisi oleh Ayana, Papa Ayana, Bi Inem asisten rumah tangganya sejak dia SD, dan satpam yang stay didepan rumahnya tadi."Neng, udah pulang? Bibi khawatir atuh neng sama eneng. Bibi kira eneng kenapa kenapa," Ujar bi Inem dengan logat sundanya. Bi inem memang asli Sunda, makannya bahasa bi Inem campur campur. Untungnya Ayana sudah terbiasa.
Ayana tersenyum dan mengucap syukur dalam hati, ternyata masih banyak orang yang menyayanginya. Ayana mendekat kearah bisa inem yang sudah dianggap ibu kedua baginya. "Maaf ya bi udah bikin bibi khawatir. Ayana tadi ketemu Jelita dulu,"
Bi inem menganggukkan kepalanya. "Sok atuh eneng mandi sana, biar bibi siapin makan," ujar bi inem dengan penuh kelembutan. Pancaran matanya begitu teduh, Ayana jadi merindukan sosok ibu yang telah melahirkannya itu.
"Iya bi, nanti diantar keatas ya makanannya," Ayana berbalik dan berjalan menaiki tangga satu persatu. Tiba tiba langkahnya terhenti, Ayana langsung berbalik dan bertatapan dengan bi Inem.
Bi inem menatapnya dengan dahi berkerut. "Bi, papa pulang belum?" tanya Ayana dengan nada yang tak bisa didefinisikan. Matanya gusar, dengan perubahan raut wajahnya yang tiba tiba memerah.
Bi inem menghembuskan nafasnya kasar, kemudian tersenyum kecil kearah Ayana. Ayana akhirnya bisa bernafas lega. Ayana sudah mengerti jika bi Inem tersenyum itu artinya papa nya tidak ada. Ayana paling enggan bertemu apalagi berkontak langsung dengan papa nya sejak insiden itu terjadi.
"Berarti udah dua hari ya bi?" Tanya Ayana dengan dahi berkerut. "Kalau papa pulang kasih tau Ayana ya bi. Ayana bisa nginep dirumah Lita," Ayana pun berbalik menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.
Bi inem hanya mengangguk pasrah dengan mata yang tak lepas dari pintu kamar Ayana. Ada rasa sedih dan kasihan pada gadis yang sudah diasuhnya sejak dulu begitu menghindari ayahnya sendiri. Tapi Bi Inem tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Ayana, karena ia tau alasan mengapa Ayana begitu enggan bertemu dengan papanya. Bi inem tersenyum miris membayangkan betapa terpuruknya nyonya mudanya itu, "Yang sabar ya Neng, bibi mah cuma bisa doain semoga semuanya kayak dulu lagi. Bibi gak tega liat Neng Ayana gini terus,"
Didalam kamar mandi, Ayana mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Badannya begitu lelah, pikirannya kacau. Matanya terpejam mengingat nasibnya saat ini. Tak ada lagi keluarga bahagia, tak ada lagi keceriaan dan senyum tulus, tak ada lagi sosok ibu dihidupnya, semuanya sudah sirna. Kejadian itu begitu cepat, rasanya baru kemarin Ayana tertawa bersama kedua orang tuanya, sekarang? Ah sudahlah.
"Mama, Yaya rindu. Yaya gak bisa bertahan disini sendirian. Mama dimana? Kenapa mama ninggalin Yaya? Yaya pengen sama mama, Yaya kangen masakan mama,"
Tak terasa air matanya sudah turun membasahi pipi putih mulusnya. Tetesan air shower tak bisa menutupi kesedihan Ayana. Ayana begitu terpukul dengan kejadian 2taun lalu. Kejadian dimana semuanya berakhir tragis. Semua kebahagiaannya dihancurkan oleh ayahnya sendiri. Entahlah, Ayana berspekulasi bahwa Ayahnya yang salah. Karna kebodohan ayahnya telah membuat ibunya memilih pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Sejak saat itu, Ayana benci seseorang yang disebut cinta pertama anak perempuannya. Mengingat itu semua membuat Ayana tersenyum miris dengan Isak tangisnya yang belum mereda.

KAMU SEDANG MEMBACA
AYANA
Teen FictionKarna kekayaan bukan sumber kebahagiaan. Kadang obrolan kecil bersama orang tersayang adalah kebahagian yang sesungguhnya.