Chapter 17

68 8 0
                                    

Suasana kantor sudah semakin sepi sebab Sudah hampir jam 7 malam. Jaevran masih berkutat dengan beberapa kertas dihadapannya. Berhubung ia benar benar bedrest maka pekerjaannya sedikit menumpuk sekarang. Band mereka minggu ini akan kembali mengisi acara di sebuah festival musik. Ini terhitung ketiga kali sejak penampilan perdana mereka. Jaevran bahagia meski tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Untungnya ada Haera yang setia menamaninya, seperti sekarang ini. Haera sedang meluruskan badannya di sofa panjang di ruang kerja Jaevran. Gadis itu sedang menunggu Jaevran untuk pulang bersama.

"Je masih banyak kerjaannya?" Haera bangkit dan duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Jae.

"dikit lagi Ra." Ujar jae tanpa menatap Haera.

"kerjaannya gabisa dibawa pulang aja? Kamu belum makan malem loh je."

"tanggung Ra. 10 menit lagi ya." Haera mengalah, kembali duduk di sofa dan mengeluarkan handphonennya.

10 menit berlalu, Jaevran masih di posisi yang sama, sedang Haera sudah kembali duduk dihadapannya. Menatap tajam pada Jae yang tidak terusik sedikitpun. Tangan gadis itu tak lama menarik pelan tangan Jae yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya.

"Je. Ini udah lebih dari 10 menit." Ujarnya tegas.

"kerjaanya belom selesai Ra. Aku harus kelarin semua sekarang soalnya besok aku harus latihan ama anak-anak, gabisa lembur." Jae memelas, melepaskan tangan haera pelan. Beralih mengelus puncak kepala gadis itu.

"kamu gak bisa terus gini je, kamu harus milih salah satunya. Kalo kamu terus-terusan gini kamu bakal sakit terus."

"aku bisa Ra, kamu cukup dukung aku aja." Haera melepaskan dirinya dari Jae, entahlah kenapa ia merasa gundah.

"aku mau ke toilet." Haera pergi ke toilet yang masih berada di ruangan Jae. Gadis itu menangis. Ia merasa semakin bersalah. Semua ini karena dirinya. Seandainya ia tidak memaksakan kehendaknya, seandainya ayahnya tidak memaksa Jae, seandainya ia melepaskan Jae. Semua karenanya. Pikiran gila semakin menghantuinya gadis itu meredam tangisnya dengan suara air yang mengalir.

Jae heran saat Haera belum juga keluar dari toilet, ia mengetuk pintu beberapa kali. Hanya ada suara air mengalir tidak ada jawaban dari Haera. Ketika ia ingin mengetuk pintu itu lagi, Haera keluar dengan mata sembab. Jae bukan tidak peka, ia jelas tau gadis itu baru saja menangis. Tanpa kata ia segera memeluk Haera. Maka tangis Haera semakin terdengar.

"Je aku gamau liat kamu gini. Maafin aku Je." Ujar Haera berkali-kali. Jae hanya diam dan mengelus pundak Haera. Ia hanya ingin menjadi tempat pulang untuk Haera.

"Ini bukan salah kamu Ra. Ini kemauan aku."

"Aku gamau kamu sakit."

"i am fine ra, aku sehat." Jae menangkup wajah sembab Haera. Sedikit tersenyum melihat betapa kacaunya Haera. Yakin betul bahwa Haera cinta mati padanya, begitupula dengan ia cinta mati pada haera.

"Yuk jalan-jalan. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat." Jae mengusap pelan wajah Haera. Kemudian menarik tangan gadis itu, menggenggamnya erat.

Keduanya sibuk bercakap-cakap di dalam mobil, membelah jalanan Jakarta yang masih padat meski sudah pukul 8 malam. Ini malam minggu, jelas saja jalanan akan ramai. Haera menatap bingung pada Jae ketika mobil Jae memasuki sebuah gang kecil dan meninggalkan jalanan besar yang ramai.

"kemana Je?" Tanya Haera.

"surprise." Ujar Jae sambil tertawa. Haera tidak lagi bertanya. Baginya tak apa, kemanapun asal bersama Jae bukan masalah.

Mobil Jae berhenti disebuah rumah bercat putih hitam, tak terlalu besar. Ada pagar berwarna hitam yang membatasi rumah itu dengan jalanan. Haera melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di teras rumah itu bersama seorang anak kecil berbaju biru muda. Keduanya terlihat sedang sibuk bercakap-cakap, sesekali keduanya tertawa. Haera menatap mata Jae yang sendu.

Break Up After LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang