Suara langkah Haera terdengar memenuhi sepanjang koridor rumah sakit. Ia berlari sebisa yang ia mampu, Jae sedang pergi memarkirkan mobilnya. Haera terus mencari,berharap Naren berdiri di hadapannya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Mata Haera bergerak cepat menelusuri ruang tunggu di depan UGD. Ia melihat disana ada Naren dengan jas putihnya dan bersebelahan dengan ayahnya yang menggunakan kemeja cokelat. Haera menpercepat langkahnya, sampai ia tiba di hadapan Naren.
"mama gimana bang? Mama gak papa kan?" Naren tak menjawab, ia menarik tangan Haera agar duduk di sebelahnya. Haera nelepaskan tangan Naren.
"jawab Haera bang, mama gak papa kan?"
Air mata akhirnya luruh dari mata Haera, ia takut. Ia takut tak ada kesempatan lagi baginya untuk membalas semua cinta dari ibunya."mama gak papa ra, kritisnya udah lewat. Sekarang mau dipindah ke ruang rawat inap. Kamu tenang aja."
Haera akhirnya terduduk di sebelah Naren. Pandangannya kosong, hampir saja. Hampir saja ia kehilangan lagi. Naren menarik Haera ke dalam pelukannya. Haera adalah adik yang akan selalu Naren lindungi, bagaimanapun caranya.
"gapapa ra, kamu gaperlu takut. Gapapa, ada aku." Naren menepuk pelan pundak Haera, suara isak Haera mulai terdengar. Naren tak lelah, ia membiarkan Haera menangis sepuasnya di pelukannya.
Dulu saat mereka masih duduk di bangku SD, seringkali Haera berlari ke kelas Naren saat jam istirahat. Gadis itu akan menangis karena teman sekelasnya suka mengganggunya, mereka senang menarik kuncir rambut Haera. Sebenarnya mereka melakukan itu karena di mata mereka Haera terlihat cantik, namun Haera tak suka. Ia justru menangis dan berlari mengadu pada Naren. Naren akan menemani adiknya membeli berbagai makanan, kemudian duduk di bawah pohon mangga di belakang sekolah mereka. Naren akan menenangkan gadis itu, melakukan semua cara agar Haera mau kembali ke kelas. Meyakinkan Haera bahwa semua akan baik-baik saja. Ajaibnya Haera selalu percaya kalimat ampuh Naren.
"kamu itu kenapa susah sekali dihubungi Ra? Kamu sebenernya ngapain aja di Jakarta? Sampe gabisa dihubungi gitu." Suara Ayah mereka, membuat Haera menarik wajahnya dari pelukan Naren. Ia mengusap wajahnya, menunduk.
"Kamu tau hp itu fungsinya buat hubungi kamu. Kamu pasti keluyuran gak jelas, bukannya kerja. Ayah udah capek ngurusin kamu ra, gak pernah mau dengar."
"Yah, Haera juga gak tau bakal kaya gini. Baru kali ini Haera matiin hp, Haera lagi suntuk dan capek. Makanya Haera matiin hp sebentar." namun, ayah Haera rak akan pernah paham.
"Bantah terus, apapun yang ayah.. "
"Ra, kamu gapapa?" Sebelum Ayah Haera menyelesaikan kalimatnya, Jaevran sudah hadir terlebih dahulu di hadapan gadis itu. Pria itu terduduk di depan Haera, menatap Haera. Mengabaikan apapun yang terjadi di sana. Mengabaikan bagaimana tatapan seluruh manusia yang heran melihat betapa cepat pria itu berlari.
"aku gapapa Je." Jawab Haera, Jaevran menunggu jawaban yang lebih. Ia butuh jawaban lain. "Mama juga gak papa." Lanjut Haera. Kemudian Jae menghela nafasnya panjang. Ia lega.
"maaf saya terlambat om." Jae mengulurkan tangannya pada ayah Haera, dengan setengah hati pria itu membalas uluran tangan Jae. Jae mencium punggung tangan Ayah Haera. Ia selalu melakukan itu tiap kali bertemu dengan Ayah Haera.
"kalian pasti berdua makanya.. "
"udah, Naren mau liat mama ke ruang inap. Naren juga harus kerja. Kalo ayah mau lanjut marahin mereka, di luar. Jangan disini, ini rumah sakit." Potong Naren, ia menarik tangan Haera dan menuntun pundak Jae. Meninggalkan Ayah Haera yang masih kesal. Mereka bertiga berjalan beriringan, sedang ayah mereka berjalan menyusul.
Haera mengelus punggung tangan ibunya, menatap wajah pucat yang hampir tertutup karena alat bantu pernapasan. Ada sesak yang dirasakan Haera karena harus melihat ibunya dalam keadaan seperti ini. Ibunya mungkin tak selalu ada di pihaknya jika menyangkut tentang ayah mereka, namun Haera tahu ibunya selalu memberi kepercayaan pada Haera untuk berjalan dalam pilihan yang ia mau.
Kini di ruang rawat itu hanya ada Haera dan Jaevran, sedang Naren tengah bertugas. Ayahnya mungkin berada di ruangannya berhubung Ayahnya juga bekerja di rumah sakit ini.
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Haera dan Jae, Jae segera berdiri dari duduknya. Jae melihat ayah Haera, Naren dan seorang pria muda memasuki ruangan mereka. Haera yang awalnya tak acuh, segera berdiri saat melihat pria asing dengan jas dokter tersebut.
"kenalin Ra, ini Jovan, anaknya om haris. Kalian dulu pernah ketemu waktu masih kecil,mungkin kamu udah lupa. Oiya Dia dokter disini, spesialis organ dalam. Dia yang bakal jadi penanggung jawab mama kamu disini." Jelas Ayah Haera. Naren mundur dan berdiri di sebelah jae. Menepuk pundak Jae pelan. Mereka semua paham ini adalah salah satu cara ayah Haera untuk memisahkan mereka. Naren selamanya akan ada di pihak adiknya, meski ia seringkali tak dapat menyurarakannya.
"Haera." Haera mengulurkan tangannya pada Jovan, Jovan balas dengan senyuman. Jaevran membuang pandangannya. Tak ingin membuat ekspektasi yang hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Mata Jaevran kembali menatap Haera dan ternyata Haera sedang berjalan ke arahnya. Haera meninggalkan Jovan kemudian menggandeng lengan pria dengan balutan hoodie abu disana.
"ini Jaevran, pacar sekaligus bos saya." Haera tersenyum di ujung kalimatnya. Jaevran sedikit kaget, namun ia segera mengulurkan tangannya pada Jovan. Tak ada senyum yang tadi di wajah Jovan. Wajahnya datar, begitupula dengan wajah ayah Haera yang berubah kecut.
"saya nanti akan rutin cek ke sini setiap pagi dan malam, kalau ada hal urgen bisa di klik tombol disana. Atau bisa langsung telpon saya." Jovan mengulurkan kartu namanya pada Haera. Haera hanya mengangguk.
Pertemuan itu ternyata tak pernah mereka sangka akan membawa banyak hal pada hubungan mereka. Tuhan memang selalu punya banyak cara untuk membuat ciptaannya terkejut dengan takdir.
"Kalau ada apa-apa, langsung telpon aku ya Ra. Aku bakal kesini secepat mungkin. Pokoknya jangan sembunyiin apapun dari aku. Kamu jangan sampe sakit. Kamu kalau nangis jangan sendirian, aku yakin tante bakal baik baik aja. Trus juga kamu.. "
Semua kalimat panjang Jaevran terhenti karena sesuatu menyentuh bibirnya sekilas. Sebuah kecupan sekilas yang diberikan Haera. Jaevran terdiam. Rasa manis tersisa di ujung bibirnya. Ia menatap Haera yang tak ada rasa bersalah sedikitpun.
"kamu jangan kecapean, istirahat yang banyak. Kamu lolos kali ini dari aku. Aku bakal balik secepetnya. Hati-hati nyetirnya, jangan ngebut. Nanti kalau udah sampe kabarin aku. Oiya bilang makasih ke brian.. "
Kali ini Haera yang berhenti berbicara, namun bukan kecupan sekilas yang Jae berikan. Melainkan sebuah ciuman panjang, Jae menekan tengkuk Haera. Menuntut lebih. Tangan yang lainnya melingkar di pinggang Haera. Saat oksigen di sekitar mereka berkurang mereka secara alami saling menjauh. Wajah Haera merah padam, nafasnya terengah. Jae tersenyum puas, gemas melihat wajah Haera. Padahal gadis itu yang mulai memancing Jae.
"aku tunggu kamu pulang." Ucap Jae singkat, kemudian mengelus kepala Haera. Sebelum akhirnya ia memasuki mobilnya.
Pagi itu ketika bandung masih sepi dan dingin, keduanya berpisah. Jaevran kembali ke Jakarta. Meninggalkan bandung dan Haera. Menyerahkan semuanya pada takdir. Semoga, semoga keduanya lekas dipertemukan dalam romansa yang indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Up After Love
FanfictionJaevran namanya, alerginya banyak. Pecandu teh, bukan kopi. Pakaian favoritnya adalah hoodie abu-abu dan celana sobek di bagian lutut. Dunianya ada dua : diatas panggung dan di belakang meja kerja. Sampai di titik ia paham keduanya tak bisa sejalan...