Chapter 22

128 10 0
                                    

Latihan selesai, hanya tersisa Jae dan Brian di studio itu. Said tadi bergegas pergi karena panggilan dari nyonya alias istrinya, Wahyu juga lekas pulang karena masih ada deadline pekerjaannya, Danu yanh sedang menginap di rumah Wahyu terpaksa ikut. Brian sedang membereskan peralatan mereka, sedang Jae duduk di belakang mejanya sambil menatap handphonennya dengan kosong. Di layar ponselnya masih ada panggilan masuk dari satu orang yang sejak tadi memenuhi kepalanya, Haera.

"Jae itu telpon lu dari tadi bunyi, telpon Haera tuh."

"Iya tau gue." Brian menampakkan wajah bingung dengan kalimat Jae.

"Trus kalau tau kenapa gak diangkat? Kasian tuh Haera." Jae diam.

"Lo berantem? Lagi?"

"Kayanya gua baru berantem sekali dah, lu ngomong gitu kaya kita berantem macam anak abg tau gak." Jae sebal, mematikan handphonennya.

Brian tertawa, menyesap teh dari gelas yang digenggamnya.

"Kali ini kenapa?" Nada suara Brian berubah menjadi serius kali ini.

"Gimana kalo sebenernya gue bukan yang terbaik buat Haera?" Balas Jae tak kalah serius.

"Hmm. Bisa jadi sih, lo kan emang gak keren, banyak yang lebih keren dari lu. Gua misalnya."

"kurang ajar lo."

Brian tertawa renyah, namun Jae justru terdiam.

"mungkin lo bener Bri, lo mungkin lebih keren dari gua. Ngeliatlu bisa hidup semaulu, tanpa terikat sama siapapun, kadang gue iri."

"Tapi lo tau kan konsekuensi dari pilihan gue itu apa? Sampe sekarang gue gak pernah ngerasain kebahagiaan yang lo dapet pas lo sama Haera."

Jae mengangguk.

"Jaevran, gua udah kenal lo lama. Gue saksi mata hubunganlo sama Haera sejak awal. Mulai dari lo yang kaya anak ilang, sampe sekarang jadi menejer di perusahaan terkenal. Dari lo cuma anak aneh yang temennya banyak tapi kayanya gak bahagia, sampe lo yang selalu senyum pas liat hp padahal lo kerja seharian. Gue tau gimana lo bahagia sama Haera, gimana lo sayang sama Haera, gimana perjuangan lo sama Haera. Kalo lo tanya gua apa lo pantas buat Haera, gua berani jawab gak ada orang lain yang sebanding dengan perjuangan lo ke Haera." Brian tersenyum tulus di akhir kalimatnya. Jae hanya meringis.

"Gimana sama Haeranya, dia bahagia gak ya sama gue?" Brian berdiri dari duduknya.

"Jangan tanya gue dong, tanya Haera lah. Emang gue cenanyang apa." Tawa Brian kemudian terdengar.

"Sialan lo Bri." Ujar Jae. Namun ia terdiam dan memikirkan perkataan Brian yang benar.

ㅂㅈㅎ

Jaevran telah berbaring di atas kasurnya. Ia meraih ponsel yang terletak di nakas samping tempat tidurnya. Kemudian ia menyalakan ponselnya yang sejak tadi sengaja ia matikan. Beberapa pesan segera masuk, dan notifikasi panggilan tak terjawab.  Semunya bersumber dari satu orang, Haera.

Haera :

Jeee
Kita harus ngomong
Jee, maafin aku
Maaf aku gak bilan Jovan ke rumah, aku cuma gamau nambah pikiran kamu. Aku tau kamu udah sibuk ini itu.
Jaevran, You know how much i love you right?
Jee, sorry if i hurt you. I dont mean that u know.
Jee lets talk, please
Pick up my call Je.
Seriously, i cant sleep. I'll come to you rn.

Jae hanya membaca pesan-pesan tersebut. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya, mencoba melupakan semuanya.

Hampir saja ia memasuki dunia mimpi, namun pendengarannya terganggu karena mendengar suara pintu apartemennya yang terbuka. Hanya satu orang yang bisa melakukan hal tersebut. Orang tersebut adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini, dan orang itu kini tengah berdiri di hadapannya dengan penampilan yang berantakan.

Jae segera duduk dan wanita itu segera berjalan ke arahnya. Wanita itu segera menghujaninya dengan pukulan di bahu, punggung, tangan dan dadanya. Jae hanya diam, ia tahu ini yang ia dapatkan jika ia berani mengabaikan pesan wanita itu. Jae akhirnya menarik tangan wanita itu, membuatnya duduk di hadapannya. Matanya kini berair, jae menghapus ujung matanya. Meraih tangan wanita itu yang memerah.

"sakit ra, tangan kamu merah jadinya." Bukannya mereda, tangis Haera justru semakin terdengar. Jae meraih Haera ke pelukannya.

"Maafin aku Je, Je aku beneran gak maksud apapun. Kamu tau aku gak mungkin nyakitin kamu dengan sengaja. Je akuu.. " Setelah itu hanya tangis Haera yang terdengar. Jae bingung dengan perasaannya sekarang, rasa marah yang tadi benar-benar menggerogotinya seketika hilang. Ia harusnya tak merasa cemburu bahkan mengabaikan Haera.

"Ra, im okay. Seriously im fine." Jae menangkup kedua sisi wajah Haera.

"Aku cuma mau nitip sesuatu buat mama. Kebetulan- hiks - dia-." Jae kembali memeluk Haera.

"iya ra, aku tau."

Jae menepuk pelan pundak Haera, Haera hanya terus menangis. Haera benar-benar takut, ia takut Jae akan membencinya. Haera tak pernah membayangkan skenario itu ada dalam otaknya, tidak pernah sekalipun. Jaevran adalah rumahnya, bagaimana jika rumahnya tak lagi menerimanya. Kemana ia harus pergi?

"Kenapa kamu gak bales chat aku? Gak akan telpon aku?" Tanya Haera setelah ia tenang, kini ia sedang berbaring di sebelah Jaevran. Ia menatap langit kamar Jae, sedangkan Jaevran sedang berbaring menghadapnya.

"Aku gamau marah ke kamu. Aku butuh waktu buat mencerna semuanya Ra. Aku gamau nyakitin kamu karena emosi aku." Haera mengalihkan pandangannya pada Jae.

"Sorry Jae,  i-"

Jae menghentikan ucapan Haera dengan cara yang menyenangkan, kedua bibir mereka menyatu sekejap. Jae kemudian kembali menarik badannya, memperhatikan wajah Haera yang perlahan memerah. Ayolah ini bukan pertama kali, namun wajah gadis itu selalu memerah seperti ini.

"Once again u say sorry, i'll do it longer." Jae tersenyum menyebalkan, Haera menatap Jae namun bukan tatapan marah. Jae menaikkan satu alisnya heran, biasanya gadis itu akan marah.

"Can i kiss you?"

Jae membelalakkan matanya mendengar pertanyaan Haera. Namun, tak lama setelahnya ia segera mendekati gadis itu. Memberi apa yang Haera inginkan, bahkan lebih dari yang ia janjikan.

Ponsel Haera berdering, sebuah pesan masuk dari penyebab semua pertengkaran panjang mereka. Jovan.

"ra, kamu gapapa?"

Namun, kedua insan tersebut tak ada waktu untuk memperhatikan dunia luar. Mereka sedang sibuk dengan dunia mereka. Dalam hati Jae sejujurnya masih ada rasa ketakutan yang tersisa, ketakutan jika kejadian seperti ini akan berulang. Ia yang merasa tak pantas, dan semua keadaan yang akan mempermainkan mereka. Sampai kapanpun ia tak ingin merelakan Haera, namun jika saatnya memang tiba, ia harus melakukannya. Hanya ada satu alasan bagi Jae untuk merelakan Haera. Jika gadis itu benar meminta, jika gadis itu melepas tangannya. Sampai hari di mana Haera tak lagi ingin berjuang bersama, ia berjanji tak akan membiarkan ketakutan itu menelan asanya. Ia akan selalu berusaha menjadi rumah paling nyaman untuk Haera.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Break Up After LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang