Laili merasa jengah juga malu saat beberapa kali Dimas meliriknya sambil menyembunyikan senyuman. Ia jadi tidak fokus dalam mengerjakan soal yang cowok itu berikan. Setelah diberikan penjelasan materi satu setengah jam lamanya disertai pertanyaan yang Laili lontarkan agar bisa memahami ilmu manajemen ini, lelaki jangkung di sebelahnya menguji Laili dengan memberikan tugas untuk membuat sebuah perencanaan bagaimana sebuah bisnis bisa berkembang juga perkiraan keuntungan dan kerugian jika bisnis tersebut gagal.
Setiap weekend, Dimas masih rajin untuk mengingatkan Laili agar mereka bisa belajar bersama. Apalagi sekarang sudah memasuki semester dua, di mana mata kuliah semester satu dan sekarang berbeda. Laili harus lebih giat lagi dalam belajar, dia tidak boleh kalah dari semester lalu.
Dimas pun tidak memberatkan Laili dalam belajar. Sesekali Dimas akan mengajak gadis berkaos biru toska itu untuk jalan-jalan setelah proses memahami materi selesai. Kadang cowok itu juga membawa makanan kekinian yang menjadi teman belajar mereka. Laili menyukai metode yang laki-laki itu gunakan, karena terasa santai, namun juga berbobot. Sehingga gadis itu tidak terlalu merasa terbebankan saat belajar, berbeda sekali saat ia berjuang sendirian seperti semester kemarin.
"Hm, udah cukup bagus nih bisnis yang lo buat,..." ujar Dimas dengan mata yang aktif bergerak ke kiri-kanan menyelami tugas yang baru saja di kerjakan Laili.
"Nah, ini nih..." Badan Dimas mendekat ke arah Laili sambil menunjuk lembar kerja pada laptop gadis itu, "...di kerugian saat bisnis gagal, lo juga harus kasi tahu perkiraan jumlah kerugian itu berapa rupiah atau dollar. Terus, poin yang ini, ini, dan ini harusnya lo lebih detail lagi." Laili mendengarkan sekaligus memperhatikan koreksi dari Dimas, sesekali ia mengangguk dan bertanya agar tidak salah saat di berikan tugas yang sama nantinya.
"Jadi, kalau di nilai, gue dapet berapa, nih?" tanya Laili harap-harap cemas.
"Entah lah, ya. Gue juga nggak tahu," seloroh Dimas tertawa. Lelaki yang lebih tua beberapa bulan dari Laili itu mengaduh saat Laili melancarkan pukulan di lengannya.
"70 bisa lah, atau 80 kalo Pak Pian nggak killer. Soalnya lo ngerjainnya udah bener, cuma mis di beberapa poin doang," jelas Dimas kemudian.
"Syukur, deh. Cukup kenyang lah, gue dengan nilai segitu." Laili mengangkat tangannya ke atas, lelah setelah lesehan hampir tiga jam di ruang keluarga rumahnya ini. Saat ia menguap, Dimas memukul mulut gadis itu, "Tutup!" Laili terkekeh malu.
Ibu Laili pergi ke butik tidak lama setelah Dimas datang, sedangkan Ayahnya sudah dua hari berada di Surabaya. Katanya, perusahaan di sana memiliki sedikit kendala sehingga mengalami penurunan omset. Entahlah, Laili juga tidak begitu mengerti. Hanya mereka dan Bibi di dapur yang menghuni rumah saat ini.
"Udah mau jam lima, nih. Mau jalan nggak?" Dimas bertanya setelah mendongak melihat jam di dinding ruang keluarga.
"Kemana?"
"Kemana aja, gue bawa deh. Ancol? Mall?"
"Taman aja gimana? Bosen juga sering-sering kesana sama lo terus," kata Laili yang di balas putaran mata oleh Dimas.
"Yaudah sana siap-siap dulu. Gue bantu kemas ini, deh." Laili bergegas menuju kamar sedangkan Dimas menutup dan mengumpulkan buku-buku pelajaran dan mematikan laptop keduanya. Lelaki itu sedang memasukkan barang-brangnya ke dalam tas saat Laili terlihat berjalan ke arahnya dengan memakai jaket denim lengan panjang dan baju putih di dalamnya. Rok bunga-bunga selutut dengan warna dasar senada membuat Dimas terpana sejenak. Lalu Dimas kembali tersenyum saat melihat yang tergantung di leher gadis itu.
"Gue tahu gue cantik, tapi jangan liat gue kayak gitu juga, lah!" tegas Laili, gadis itu berusaha menutupi rasa malunya.
"Iya, cantik," aku Dimas, "kalungnya."
Laili meraba kalung yang ia gunakan lalu melihat Dimas. "Ngomong-ngomong, makasi buat kalungnya, Dim. Gue suka. Unik gitu, nggak pasaran." Dimas mengganggukkan kepala lantas berdiri. "Yuk, pergi!"
***
Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke taman yang mereka tuju. Taman ini cukup ramai, karena Laili juga baru sadar jika sekarang hari sabtu yang otomatis, para pemuda akan berkumpul untuk bertemu dan memadu kasih.
Laili duduk di salah satu bangku yang tersebar di pinggir-pinggir taman. Di sebelah kanan agak ke pojok ada beberapa keluarga yang sedang menemani anak-anak mereka bermain seperti seluncuran, ungkat-ungkit, ayunan dan melompat di ban-ban besar yang tertanam ke dalam tanah. Di depan mereka ada segelintir pedagang kaki lima dengan pelanggan yang mengantre termasuk Dimas di salah satu stannya. Lelaki itu ingin membeli telur gulung dan cemilan yang akan menjadi teman nongkrong mereka malam ini.
Gadis itu kembali meraba kalungnya. Kalung yang di berikan Dimas sesaat sebelum pemuda itu pamit dari rumahnya malam kemarin. Kotak kecil yang isinya sangat unik. Sebuah kalung silver dengan bandul berbentuk daun sangat menggugah mata Laili ketika melihatnya. Keesokan paginya, Laili langsung mengenakan kalung itu. Siapa sangka ternyata Dimas menyadarinya? Jadi yang Dimas lirik saat mereka belajar bersama adalah kalung pemberian lelaki itu? Laili kira Dimas memandangnya. Ah, semburat merah serasa membakar pipinya saat menyadari kesalahpahaman itu.
Geer banget sih, Li! - batin gadis itu berteriak.
"Woi, Li!" Laili tersentak kaget saat wajah tampan Dimas berada di depan wajahnya. Gadis itu mengerjap dengan jantung yang berdetak kencang.
Heh, jantung! Lo kenapa geraknya cepet banget?
***
(LSC : 19520 )
![](https://img.wattpad.com/cover/223641965-288-k553535.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Laili (LSC4) [Lengkap]
Teen FictionPutri Laili Jayanti, nama yang begitu indah namun tak seindah jalan hidupnya. Sudah kebal, malah kelewat bosan dengan badai yang terus menghampiri. Sebentar lagi dirinya akan masuk ke bangku kuliah dan ia mulai bertanya-tanya; badai seperti apa lagi...