Chapter Dua Puluh Sembilan: Lampu Merah dan Kegagalan

71 8 0
                                    

Tak apa apa jika gagal
Tapi jangan terlalu putus asa
Siapa tau kedepanya
Dirimu bisa maju lebih pesat

[🌚🌚🌚]

"Gib kita naik apa?" tanya Esya di sela sela tarikan tangan Gibran. "Gak mungkin kita naik delman," ucap Esya masih sempat bercanda.

"Kita naik motor, udah ayo pakai helmnya." Gibran memberikan helm kepada Esya dengan tergesa-gesa. "Kurang satu jam nih, ayo cepetan Sya jangan lelet," ujar Gibran tak sabaran membuat Esya segera naik ke motor.

"Pegangan, gue mau ngebut." Gibran mulai menstater motornya membuat Esya yang belum siap segera mendekap gibran dengan kedua tanganya. "Gibran hati-hati," ucap Esya takut. "Gak papa kita telat, penting kita selamat," pesan Esya yang tak dihiraukan Gibran.

Segera Gibran melajukan motor yang dia pinjam dari satpam hotelnya, membelah kota Jogja yang masih ramai di malam hari menuju tengah malam.

"Lo harus ketemu mama,"

[🌚🌚🌚]

"Lo kenapa sih tadi di hubungin susah banget?" tanya Gibran kepada Esya. "Cuma dibaca doang lagi," gerutunya mengingat dia mengirimi banyak pesan yang hanya di baca oleh Esya.

"Ya sorry, hp gue lowbat, ini aja gue dibawain hpnya kak Anta tadi." Esya menunjukan hp yang daritadi dia pegang kepada Gibran lewat spion. "Lagian lo kan tau hp gue, gue silent."

"Gara gara hp lo silent, mama itu nungguin udah lebih dari dua jam tau. Tadi kalau gak bisa ketemu, kasih tau makanya," sembur Gibran membuat Esya membelalakan matanya.

"Dua jam? Disana sendirian?" tamya Esya tak percaya, tapi Gibran mengangguk, membuatnya percaya.

"Sumpah gue gak minta maaf banget, tadi tuh terakhir syuting buat konten, gue tadi udah dateng, udah nyari sana sini eh ternyata udah ke bandara," jelas Esya membuat Gibran mendengus.

"Lo kalau mau minta maaf, jangan ke gue, ke mama sana nanti." Masih dengan amarahnya, Gibran menceramahi Esya yang diam ditempat.

"Udahlah ngomong sama lo susah," cicit Gibran ditengah tengah lampu merah.

Mereka terjebak lampu merah diwaktu yang tidak tepat. Esya yang daritadi melihat jam di hp Anta, sedangkan Gibran yang mengetuk ngetuk sepatunya, menunggu lampu merah selesai.

"Ah lama." Gibran menerobos lampu merah membuat Esya tercekat. "Bahaya tau Gib." Esya memukul bahu Gibran membuat Gibran mengadu.

"Udahlah ini juga demi lo," jelas Gibran tambah membuat Esya memukuli bahunya berkali kali.

"Hati-hati gue gak mau mati muda," bentak Esya. "Tapi kayaknya yang mati muda gue duluan deh, gegara lo pukuli!" sosor Gibran menghentikan motornya, tetapi Esya belum sadar.

"Turun woy! Gak usah mukuli terus! Ayo cepetan!" Bentak Gibran membuat Esya sadar bahwa mereka sudah berada di bandara.

"Ayo lari! Mencar!"

[🌚🌚🌚]

"Mereka dimana ya?" gumam Rendy sambil membalikan badanya. "Kok belum dateng dateng," tambahnya sambil mencoba menelpon Gibran.

Maaf, nomor yang anda hubungi sedang dialihkan silahkan---

"Kemana sih mereka?" Gusar Rendy di tempat.

"Mereka siapa?" tanya Latufa kepada Rendy yang sedari tadi bergumam tak jelas disampingnya. "Lo lagi nunggu orang?" tanya Latufa membuat Rendy kelabakan.

"Eh gak kok, gue cuma mau ngasih tau Gibran kalau tiketnya udah gue pesenin," jawab Rendy yang diangguki Latufa. "Gibran kok gak ikut kesini?" tanya Latufa setelah ingat Gibran tak ikut ke bandara.

"Dia lagi keluar, ketemu orang," jawab Rendy mencoba mengirim pesan kepada Gibran. "Orang? Esya?" tanya Latufa membuat Rendy menatapnya. "Gibran gak punya temen di Jogja kan?" tanya Latufa memastikan.

"Gak, dia tadi keluar gak tau orang yang dimaksud dia tadi siapa, ayo kita naik udah ada pemberitahuan," ajak Rendy mendengar pemberitahuan bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi akan terbang, tinggal menunggu penumpang saja.

Latufa yang mendengar itu hanya menghela napas, dia berdiri dan berjalan mendahului Rendy yang masih diam dan menatap kebelakang, masih menunggu Gibran dan esya yang tak menampilkan batang hidungnya.

"Ren, ayo," ajak Latufa melihar Rendy yang diam saja tanpa ada niatan menyusulnya. "Kita nanti telat," imbuhnya yang dihadiahi anggukan dari Rendy dan Rendy mulai menyusulnya.

Tapi, tetap saja, Rendy masih menatap ke belakang, masih berharap akan kedatangan Gibran dan Esya. Tapi, lama kelamaan, yang dia harapkan tak kunjung datang.

"Kalian terlambat"

[🌚🌚🌚]

"Gimana? Ketemu?" tanya Gibran melihat Esya yang ngos-ngosan menghampirinya. "Ketemu gak?" tanyanya lagi yang dibalas gelengan kepala oleh Esya.

"Kita telat," ujar Esya putus asa, segera dia duduk di kursi yang disediakan. Lelah juga dia mengelilingi bandara untuk mencari bundanya yang tak membuahkan hasil.

Gibran yang melihat Esya yang nampak kelelahan pun, hanya diam, berdiri di depan Esya yang mulai menutup matanya menggunakan tanganya. "Udah jangan nangis," ucapnya ketika tau bahu Esya bergetar. "Kita masih bisa ketemu di Jakarta," tambahnya yang menimbulkan tangis yang menjadi jadi dari Esya.

Melihat itu Gibran hanya bisa menghela napas, mendekati Esya dan mengacak halus rambut Esya. "Lo udah berusaha, gakpapa kali Sya," ujar Gibran mencoba menenangkan Esya. "Gue gak bakal bisa ketemu lagi sama Bunda." Tangis Esya. "Gue buang buang waktu lo dan bunda pasti gak bakal maafin gue." Esya mengusap pipi dan sekitar matanya, menghilangkan jejak air mata.

Gibran yang tak tega segera memeluk Esya. "Lo gak salah, mama pasti ngertiin lo, sekarang pulang ya?" tawar Gibran yang dibalas anggukan oleh Esya yang berada di pelukanya.

Bunda, Esya minta maaf

[🌚🌚🌚]

Hai hai hai
Kembali lagi di cerita PLfMI
Berhubung gue mulai bingung ngetik author note kayak gimana jadi gue cuma mau ngetik

Jangan lupa follow, vote and coment cerita ini ya

Kalau mau tau tentang aku bisa juga kunjungi akun instagram @salrudniyy
Dan kalian bisa say "hi" or "hello" ya

See you
Salam genit
Rusmdnyyy_

Prosthetic Limbs for My Idol [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang