C26 - Sebuah Usaha Menyatukan Kepingan Masa Lalu

653 61 6
                                    

Ada yang masih stay di cerita ini?
.
.
Coba absen sebut nama dan kota!
.
.
Happy reading!
.
.

^_^

Keesokan harinya, Yanto berangkat bersama Gerald dan Budi ke shelter di mana Gerry berada. Gerry, Dokter Rania, dan Dokter Abim sangat antusias menunggu kedatangan Yanto. Tetapi, hati Gerry masih resah karena ia merasa telah berbuat jahat pada korban meskipun itu dalam unsur ketidaksengajaan. Jari-jemari tangannya memegang kuku-kukunya, dan dahinya penuh keringat dingin. Tetapi, ada Dokter Rania dan juga Dokter Abim yang menemani dan menenangkan Gerry di ruang tamu shelter.

Tak lama, yang ditunggu-tunggu pun datang. Dokter Rania dan Dokter Abim langsung menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Sekarang, mereka sudah berkumpul serius di ruang tamu shelter. Gerald yang duduk di samping Gerry terus meyakinkan dan menenangkan kakaknya itu.

Dokter Abim yang mewakili Gerry mengucapkan banyak terima kasih pada Yanto. Terlebih, yang paling penting, ia mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian beberapa tahun yang lalu itu.

Sungguh dengan kemurahan dan kebaikan hati Yanto, ia lebih menyesal lagi kenapa baru sekarang ia dipertemukan dengan Gerry. Ia tidak kuasa melihat kondisi anak itu yang penuh bekas luka, sungguh menandakan rasa sakit yang berkesinambungan dan terus-menerus.

"Nak Gerry, kamu saya maafkan. Saya menyadari bahwa ini semua sudah menjadi garis takdir anak saya. Saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Saya juga meminta maaf yang sebesar-besarnya karena baru menemuimu sekarang dan membiarkanmu menderita atas perasaan bersalah itu," ucap Yanto yang sudah berlinang air mata. Tangannya mengusap-usap rambut Gerry.

Hati Gerry merasa sangat tersentuh. Ia seperti merasakan kembali kehadiran sosok ayah dalam hidupnya. Air matanya perlahan turun. Tangannya tanpa sadar bergerak ke arah Yanto. Lalu, ia memeluk Yanto secara refleks dan menumpahkan tangisannya pada ayah korbannya sendiri.

Gerry tak bisa berkata-kata. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya air matanya yang berbicara.
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang tidak menitikkan air mata. Termasuk Bi Susi yang diam-diam memerhatikan mereka di balik tembok.

"Semoga kamu bisa sembuh secepat mungkin dan bisa kembali bersekolah lagi, Nak," ucap Yanto pada Gerry.

"Ge Ge Gerry minta maaf, Om," ucapnya dalam isakan tangis.

Drrt drrtt!

Handphone Budi bergetar keras dalam sakunya. Ternyata, Ema yang menelepon suaminya itu.

"Permisi, saya keluar dulu sebentar, istri saya nelpon!" izin Budi sambil berdiri. Mereka pun mengangguk. Lalu, Budi pergi ke luar shelter untuk mencari keheningan supaya suara istrinya bisa terdengar jelas.

"Hallo, Ma!"

"Pah tangan Karin tadi bergerak sedikit bibirnya juga tersenyum meski sedikit kaku, Pah!"

"Alhamdulillah, nanti Papah segera ke sana, Mah!"

"Ohiya, itu Gerry gimana?"

"Gerry pasti akan sembuh secepatnya, Mah!"

Setelah Budi bertukar kabar baik dengan istrinya, ia pun masuk lagi ke dalam ruang tamu shelter. Ia menunda dulu untuk mengabarkan kabar baik itu pada Gerald dan Yanto. Ketika Budi tiba di ruang tamu, ia mendengar bahwa Gerry ingin pulang, dan rasanya Gerry kini sudah tidak perlu berada lagi di shelter. Saatnya, ia mulai mengobati dirinya sendiri di rumah.

"Dok, Raka ingin pulang dan kembali tinggal bersama Rey," ucap Gerry pada Dokter Rania.

"Jangan dulu sekarang ya, tunggu beberapa hari setelah kondisimu sudah baik-baik saja," jawab Dokter Rania yang melarang Gerry untuk pulang sekarang. Dokter Abim pun mengajak ngobrol Budi.

History Influence [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang