(7) Bertambahnya Dendam

2.9K 215 295
                                    

Taufan memasuki kelasnya. Dia datang agak lambat hari ini kerena harus melakukkan rutinitas paginya dulu. Apalagi? Kalau bukan perang sama Angin.

Gak peduli itu perang bacot maupun kejar kejaran hingga membuat Beliung, ibu mereka berdua pusing kerena harus membereskan lagi rumah yang tadinya sudah bersih tapi malah disulap menjadi kapal Titanic yang baru saja kejatuhan bulan.

"Pagi, Fan." sapa Gempa ramah. "Kenapa datang lambat lagi?" Lanjutnya bertanya.

"Angin ngajak ribut lagi." jawab Taufan sembari duduk di kursinya.

"Biasalah, namanya juga keluarga bencana alam. Bapanya Tornado, Ibunya Beliung dan Anaknya Angin Taufan." ucap Blaze yang tiba tiba nimbrung sembari duduk dengan kedua tangan diletakkan di belakang kepala dan kedua kaki di atas meja.

Ice menggelengkan kepala melihat kelakuan Ukenya yang sama sekali tidak ada anggun anggunnya. "Blaze turunkan kakimu!"

"Kenapa?" tanya Blaze, melirik ke arah Semenya itu.

"Gak anggun." ketus Ice.

Blaze menatap datar sang Seme. "Kau pikir aku cewe harus anggun gitu!" sahutnya gak kalah ketus.

"Turuti atau ku 'hukum' lagi!" ancam Ice sembari menyeringai.

Mendengar itu sukses membuat Blaze dengan tergesa gesa menurunkan kedua kakinya dan duduk seanggun mungkin. "Apa apa ancamannya di'hukum', apa apa ancamannya di'hukum'. Dasar mesum!" gerutunya.

Taufan, Gempa dan Fang yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua tak mampu menahan tawanya. "Hahaha.. Mampuz kau Blaze kena azab 'gak bisa jalan'." ucap Taufan disela sela tawanya.

"Makanya nyebut Orang Tua itu sopan dikit." sambung Gempa, ikutan menimpali.

"Au nih Blaze. Gak sadar diri emang, situ juga keluarga yang suka bikin rumah orang kebakaran." ejek Fang.

"Bacot kau Landak!" seru Blaze. "Aku gak mau denger itu dari mulut keluarga Genderuwo yah!"

Mendeliklah mata Fang mendengar ejekan balik dari sahabatnya itu. "Eh buset kampret kau upil badak!"

Taufan mengabaikan saja Blaze dan Fang yang sekarang saling adu bacotan. Dia menolehkan kepalanya ke samping kiri, tepat ke arah kursi Thorn dan Solar yang masih kosong. "Thorn dan Solar mana? Kok belum datang." tanyanya pada Gempa.

"Tadi kata Riko, Thorn masuk rumah sakit dan Solar izin menemaninya." jawab Gempa.

"Eh?! Dia sakit apa?" ucap Taufan lagi yang tentunya dengan raut wajah khawatir.

Ekspresi Gempa pun juga menunjukkan kalau dia khawatir. "Riko bilang kalau dia liat Thorn hampir dibunuh oleh orang misterius tadi malam."

Membulatlah mata Taufan mendengar orang yang dia cintai hampir dibunuh. "Terus, Apa pelakunya sudah ditemukan?!"

Gempa menggeleng. "Pelaku belum ditemukan dan polisi masih mencoba untuk mencarinya."

Taufan menghela nafasnya, mencoba untuk tenang. "Semoga pelakunya cepat ditemukan." Dia menoleh ke samping kanan, ke arah kursi Halilintar yang juga kosong. "Ice, Halilintar gak masuk ya?"

Mendengar namanya disebutkan membuat Ice menengok ke arah sahabatnya yang barusan bertanya. "Dia masuk."

"Kenapa belum datang? Tumben gak barengan." ucap Taufan sembari menaikkan sebelah alisnya.

Ice mengedikkan kedua bahunya. "Dia yang menyuruhku untuk berangkat duluan."

"Ooh." Respon Taufan menatap sendu Ice yang bicara tanpa intonasi sama sekali. "Aku tau Ice kau masih marah kerena aku menolak Halilintar. Tapi seharusnya kau faham, sebuah perasaan tidak bisa dipaksakan." batin Taufan.

 Pyscopath (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang