(6) Serangan Tengah Malam

3.2K 222 218
                                    

"Aku.... " Taufan menggigit bibirnya. Dia memejamkan mata sembari menunduk dalam. "Aku... Tidak bisa."

Mendengar itu membuat senyum tipis Halilintar berangsur memudar digantikan dengan raut wajah tanpa ekspresi sembari bangkit dari posisi berlutut sebelumnya. "Kenapa?" tanyanya merasa tidak puas hati.

"Aku sudah mencintai seseorang." jawab Taufan dengan posisi masih menundukkan kepala.

"Siapa dia?"

Taufan mengangkat wajahnya menatap Halilintar dengan ekspresi serba salah dan sukar untuk diartikan. Namun bagi Halilintar, dia dapat menangkap ekspresi bersalah, bingung dan keliru dari wajah Taufan. "Thorn." jawabnya.

Halilintar terdiam mendengar Taufan menyebutkan nama orang itu. Namum dapat dia tangkap kekeliruan dari jawaban tersebut, seolah olah Taufan tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

Netra merah ruby Halilintar menatap lekat netra Taufan, membuat netra biru sapphire itu sedikit bergetar sembari melirik ke kanan dan ke kiri kerena gelisah. Halilintar melangkah selangkah mendekati Taufan yang spontan juga mengundur selangkah.

Dengan raut wajah tanpa ekspresi Halilintar kembali melangkah, mengikis jarak antara dirinya dengan Taufan yang terlihat semakin gelisah.

Tanpa peringatan dia langsung membenamkan wajahnya pada bahu Taufan di depannya sembari sebelah tangannya memeluk pinggang ramping itu. "Tak apa." bisik Halilintar.

Dapat Taufan rasakan air matanya sebentar lagi akan jatuh. "Hali... Maafkan aku." lirihnya sembari memeluk Halilintar yang masih berdiri diposisi yang sama. Dapat dia rasakan kalau Halilintar membalas pelukannya.

Pelukan dilonggarkan oleh Halilintar. Dia tatap Taufan yang juga menatapnya. Netra biru sapphire Taufan bertemu dengan netra merah ruby Halilintar yang terlihat hampa.

"Jangan menangis, aku tidak suka melihatmu menangis, apalagi kerenaku." ucap Halilintar, mengusap lembut air mata yang mengalir dari pipi Taufan sembari tersenyum tipis, walau terkesan dipaksakan. "Ayo, aku antar pulang."

Hanya anggukan kecil yang diberikan oleh Taufan sebagai jawaban untuk Halilintar. Dia hanya mendiamkan diri sembari mengikuti Halilintar menuju kendaraannya.

Kali ini Taufan memberanikan dirinya berpegangan pada pinggangnya Halilintar, bahkan dia juga menempelkan dahinya pada punggung pemuda bernetra ruby ini.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Taufan memilih untuk tidak mengenakan helmnya selama perjalanan pulang. Begitu juga dengan Halilintar, dia membiarkan angin malam menerpa rambutnya.

"Aku tau kau nyaman bersamaku, aku tau kau juga menyukaiku, tapi kenapa Fan? Kenapa kau tidak menerimaku dan memilih orang yang belum tentu mencintaimu, bahkan kau lihat sendiri kemesraan dia bersama Solar di depan matamu? Aku tau kau sendiri keliru dengan jawabanmu tadi, aku tau kau keliru untuk menolakku, tapi kenapa kau paksakan, Fan?" batin Halilintar bertanya tanya lirih sembari ia tetap memecut laju motornya menuju mension Cyclone.

Begitu juga dengan Taufan yang membatin lirih. "Tak bisa ku pungkiri kalau aku juga menyukaimu, Hali. Aku nyaman bersamamu, tapi kau datang di waktu yang tidak tepat, hatiku sudah mencintai Thorn."

Tidak ada yang membuka suara selama perjalanan pulang. Keduanya hanyut dengan pikiran dan batin masing masing. Bahkan mereka masih terdiam ketika telah sampai di depan pagar rumah Taufan.

Taufan melangkah lebih dekat lagi ke arah Halilintar, sebelum memberikan kecupan pelan pada pipi pemuda bernetra ruby ini. "Maafkan aku, Hali."

Halilintar tersenyum tipis sembari tangannya terulur memegang sebelah pipi Taufan dan diusap lembut. "Jangan dipikirkan... Ini ambillah." ucapnya, menyerahkan buket bunga mawar yang sebelumnya ia bawa kepada Taufan.

 Pyscopath (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang