|7|

72 10 0
                                    

      
                         //Different//

                               ****

"Ini upahmu untuk tiga bulan."

Yuna bergantian menatap amplop kemudian pria yang tengah berdiri di hadapannya. Choi Seungcheol. Pria itu menyodorkan amplop berisi uang sebagai upah Yuna.

"Ti-tiga bulan?"

"Ambil sebelum aku berubah pikiran." Seungcheol menatap amplop di tangannya.

Yuna menggerakkan tangannya sedikit ragu. "Ambil saja. Kau sedang membutuhkan uang itu." Tiba-tiba suara Yura terdengar. Gadis itu tengah berjalan mendekati Seungcheol dan Yuna. Ia menghentikan langkahnya menyisahkan satu langkah di samping Yuna.

"Kau, kenapa ada di sini? Jangan bilang kau--" ucapan Seungcheol terputus kala Yura kembali bersuara.

"Aku tidak ingin pergi ke sekolah. Aku ingin bersantai hari ini. Lagi pula kau meninggalkanku tadi pagi. Aku tidak ingin naik bus."

Balasan Yura cukup membuat Seungcheol melebarkan mata dan menajamkan tatapannya. Yura sedikit kehilangan nyali karenanya. Gadis itu mengusap tengkuknya kemudian memberanikan diri menatap mata Seungcheol.

"Satu hari saja. Boleh, ya? Lagi pula ini salahmu tidak mau mengantarku..."

Runtuh. Seungcheol tak sanggup melihat air muka Yura yang sengaja dibuat-buat agar terlihat imut itu. Jika mereka ada di rumah, Seungcheol akan melempar bantal sofa ke arah gadis itu.

"Akan kulaporkan pada ayah dan ibu." Seungcheol kembali menyodorkan amplop di tangannya hingga Yuna menerimanya. Pria itu kemudian berjalan menuju ruangannya.

"Cheol-ah!" teriak Yura yang berhasil mengambil alih atensi seluruh pengunjung kafe. Yura menghentakkan kakinya kesal. "Sesuka hati dia padaku. Hei, kau juga tidak pergi ke kampus hari ini!" teriak Yura yang tak diindahkan oleh Seungcheol. Pria itu sudah berhasil masuk dan menutup pintu ruangannya.

"Ah, aku lupa. Dia masuk siang. Argh, aku sungguh kesal!"

Yuna tampak tersenyum tipis melihat interaksi kakak beradik itu. Yura berhasil menenangkan dirinya. Ia menatap Yuna kemudian menepuk pundak gadis itu pelan. "Gunakan uang itu dengan baik, ya?"

Yuna mengangguk seolah mengatakan 'pasti'. Setelah Yura melangkahkan kaki menyusul Seungcheol di ruangannya, Yuna kembali menatap amplop cokelat di tangannya. Ia sedikit bernapas lega karena mungkin uang ini akan sangat membantunya. Namun, Yuna tak tahu dimana keberadaan pria si penagih hutang itu. Lantas bagaimana cara untuk menyerahkan uang itu? Apa Yuna harus menunggu pria itu datang lagi ke rumahnya? Ah, sepertinya memang harus seperti itu. Yuna menyimpan amplop itu di dalam tasnya sebelum dirinya kembali bekerja. Ia tak henti-hentinya tersenyum sedari tadi, membayangkan jika hutang ayahnya akan lunas kemudian ia akan hidup dengan tenang.

                               ****

"Argh! Ada apa denganmu Seokmin-ah? Kenapa kau jadi uring-uringan seperti ini? Hanya karena kejadian semalam, huh?" Seokmin berujar pada pantulan dirinya di cermin toilet sekolah.

Harapan untuk melupakan kejadian di depan mini market kemarin hanyalah sebuah harapan. Nyatanya pria itu masih mengingat betul bagaimana kondisi Yuna yang tampak buruk. Seokmin membasuh wajahnya dengan air kemudian meninggalkan toilet.

Baru beberapa langkah di luar toilet, netra Seokmin tak sengaja menangkap beberapa orang tengah asyik bermain di lapangan basket. Dan ada satu orang di sana yang berhasil membuat kedua sudut bibir Seokmin terangkat sekaligus rasa bersalah yang kembali hadir. Kwon Soonyoung. Seniornya di tim basket itu tampak tertawa bahagia dengan kawan-kawannya. Tapi pria itu hanya duduk di pinggir lapangan tanpa menyentuh bola oranye sama sekali.

Different✔ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang