Bag3 #Bertemu Kembali

363 44 0
                                    

[Namjoon]

Aku tidak tahu sudah berapa lama sejak kejadian yang sama terulang kembali. Terakhir kali aku datang ke tempat ini sekitar sepuluh tahun yang lalu, sebelum akhirnya aku meninggalkan negara ini. Dan tepat di bangku ini, bangku yang pernah menjadi saksi bisu aku dan ibu bertemu, dengan dua jiwa yang berbeda. Aku, si jiwa yang masih memiliki raga dan dia si jiwa yang akan kekal di surga.

“Ibu sudah bilang, kamu tidak boleh datang lagi ke sini, Joon,”

Aku tersenyum, mendengar suara wanita yang selalu aku rindukan di setiap malamnya. Tidak ada satu malampun yang aku lalui tanpa mengingatnya, tidak ada waktu yang aku lewatkan untuk doa-doa yang aku panjatkan. Tentu untuk wanita yang sekarang kembali duduk di depanku. Wanita yang seharusnya bahagia tapi malah sebaliknya karena kedatanganku, “bukannya sudah waktunya, bu? Kita sudah bisa ketemu ‘kan?”

Yang kuajak bicara hanya diam, mengehela nafas sebelum akhirnya tangan itu jatuh pada rambutku yang mulai panjang dan memberi usapan lembut. Aku rindu usapan ini.
“tidak, Joon, jalan kamu masih panjang. Kamu masih harus lanjut hidup untuk ke depan, ada takdir yang menunggumu, ini belum waktunya.” Bibir cantik itu menyunggingkan senyuman, “tapi ibu tahu kamu lelah, kamu boleh istirahat sebentar di sini.”

Kesedihan yang aku rasakan mulai sirna, tergantikan dengan senyuman yang begitu membahagiakan. Walau hanya sebentar, aku harap mimpi indah ini tidak harus segera usai. Aku ingin menikmati lebih banyak waktu bersama dengannya.

Aku mendekat, meletakan kepala pada pahanya untuk lebih menikmati momen ini. kalau sudah begini wanita itu akan banyak menceritakan hal-hal yang menyenangkan kepadaku, bercerita bagaimana dia tidak bisa berhenti pada pesona tempatnya kini berada, bertemu dengan banyak hal baru yang menakjubkan. Aku mendengar dengan seksama apa yang terlontar dari bibirnya, selalu berhasil menghipnotisku dan melupakan bahwa kita sudah berbeda.

“Bu ... “ aku memanggilnya lirih. Senyuman itu masih terlukis cantik di wajahnya, “boleh tanya sesuatu?” aku melanjutkan dengan takut-takut.

“Silahkan,”

Aku bangun, kembali mengambil posisi duduk menghadapnya, “ibu sudah ketemu sama dia?” aku sedikit gemetar, aku masih belum bisa menerima kenyataan pahit sepuluh tahun lalu. Benar jika ku sudah melepasnya, tapi luka itu masih tidak kunjung kering dan hilang, malah semakin meradang.

Sepasang alisnya menukik, dahinya berkerut tidak mengerti, “kalian belum bertemu bahkan sudah sejauh ini?”

Ucapannya membuat rasa nyeri itu datang lagi. gadis itu, bagaimana bisa dia meniggalkanku dengan luka yang seperti ini. dengan perasaan yang entah butuh berapa banyak waktu lagi untuk aku habiskan supaya bisa terhapuskan. “Aku ‘kan gak bisa masuk, bu.”

Wanita itu malah menyunggingkan senyuman, “dia tidak di sini, Joon,” Kini gantian aku yang bingung, “Perempuan yang kamu maksud tidak di sini,”

“Ibu belum bertemu sama dia? kan kalian ada ditempat yang sama?”

Wanita itu menggeleng, “tidak, dia tidak di sini. Lebih baik kamu pergi sekarang, Joon, ibu juga mau pergi.”

“Tapi bu—“ wanita itu tidak mendengarku. Lebih tepatnya memang sengaja tidak mau mendengarnya, memilih pergi meninggalkanku yang masih diam tak tahu arah. Sekarang aku harus pergi kemana? Aku tersesat di dunia yang tidak seharusnya aku berada, walau sesungguhnya aku ingin menetap di sini selamanya.

Aku memilih untuk diam di sana, aku semakin kehilangan arah sekarang. Ibu tidak mungkin akan kembali datang ke sini hanya untuk membawaku bersamanya. Dia sudah mengatakan ini belum saatnya. Itu berarti aku harus kembali pada dunia yang membuatku semakin lupa jati diriku. Dunia yang mengenalkanku pada indahnya lukisan dengan rona duka. Aku tidak ingin kembali jika aku bisa.

“Kim Namjoon, ngapain kamu di sini? Ayo pulang,”

Aku mendongak, menatap pria paruh baya dengan rambut yang sudah memutih. “Ayah?”

“Iya, ini Ayah. Kamu ngapain di sini? Ayo pulang sama Ayah,” tangan itu menarik lenganku, menjauhi bangku yang aku duduki.

“Tapi yah, Aku—“

“Joon, Ayah rindu sama kamu. ayo kita pulang sama-sama.”

Aku menatap dalam netra cokelat yang sayu miliknya,wajah yang tak lagi muda dan rambut yang tidak lagi hitam. Ayah benar, dia sendiri di sana. Hanya aku yang tersisa untuknya. Jika aku egois memilih pergi, dia akan sendiri dan sepi, tidak ada lagi yang akan menemaninya minum kopi di sore hari. Aku tau dia pernah menoreh luka, tapi Ayah yang sekarang adalah sosok yang berbeda. Dan aku sudah memaafkannya.
Aku menyunggingkan senyum samar, berdiri dan menggenggam erat tangannya, “Iya, ayo kita pulang.”

Senyum pada wajahnya yang tak lagi muda ikut mengembang, menarik lenganku pergi darisana. Mimpi indah ini harus berakhir sampai di sini. Mungkin semesta tidak ingin aku berlama-lama pada dunia yang tidak seharusnya.

Just Remember Me || Kim NamjoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang