Maaf

121 4 0
                                    

"Hitung mundur dari sekarang dan lihatlah akhirnya."

-Author

"Bagiku hujan adalah cuaca yang mendatangkan kebahagiaan atau kesedihan secara bersamaan. Ketika hujan terjadi apa yang kau rasakan?"


Seorang gadis tengah menaburi bunga pada sebuah kuburan yang masih terawat sampai sekarang. Batu nisannya bertuliskan nama (Venanda Kara) atau lebih akrab di panggil Kara ketika gadis itu masih hidup dulu.

"Gue gak pernah tahu kalau Papa punya anak yang sudah meninggal," kata Kara setelah bangkit dari posisi berlututnya, disampingnya ada seorang pemuda.

"Mungkin bokap lo mau nyembunyi'in dukanya. Itu sih menurut gue ya," jawab Reza.

Kara mengangguk, apa yang dikatakan oleh Reza memang tak salah. Mungkin benar jika ayahnya hanya ingin menyembunyikan duka yang sudah lama terkubur. Mungkin juga kardna ayahnya terlalu sibuk sampai tak ada waktu untuk menjelaskannya lada Kara, tapi Kara yakin jika ibunyapun sudah mengetahui tentang hal ini lebih dulu.

"Mau langsung pulang?" tanya Reza setelah lama terdiam.

"Iya."

Ketika mereka berdua jalan beriringan ada beberapa tetes air hujan yang mengenai wajah mereka, Reza menengok ke atas dan mendapati langit telah mendung dan beberapa tetes air hujan sudah mulai turun. Untunglah Reza susah menyadari hal ini akan terjadi karena sedari tadi ia memegang payung untuk berjaga-jaga jika akan turun hujan karena sedari tadi langit mendung.

Reza membuka ikatan pada payung dan payungpun terbuka dengan sempurna.

"Hujan."

"Emang siapa bilang stunami?"

Kara melirik Reza dengan tatapan sinisnya, Kara sengaja mengucapkan kata 'hujan' itu karena refleks ketika ia tak sengaja melihat tulisan pada sebuah batang pohon yang tumbuh di perkarangan rumah tua itu.

Dari Arka atau kakak tirinya, Kara tahu jika rumah ini dulunya adalah rumah ayah tirinya. Namun semenjak ayahnya menikah lagi dengan ibunya rumah ini tak ada lagi ada yang menempati. Namun masih terurus kebersihannya, sehingga tak terlihat jika rumah itu adalah rumah kosong.

"Ini kayak pahatan ya?" tanya Kara pada Reza sembari menyentuh pahatan berukir kata 'hujan' pada batang pohon itu.

"Iya, paling juga ada yang iseng ngukir tulisan itu dusitu," jawab Reza.

Imajinasi Kara sudah mulai mengembara, ia membayangkan jika ada seorang gadis kecil yang tengah memahat batang pohon itu menggunakan pisau. Lalu seorang anak laki-laki yang lebih tua dari anak perempuan itu menegur adik perempuannya, keduaanya tampak berbincang saling melempar argumen mereka. Sang anak laki-laki mengatakan jika memahat batang pohon yang masih hidup itu akan menyakiti pohonnya, sementara sang adik perempuan mengatakan jika yang dipahatnya itu sangatlah bagus dan dia mengatkan kata maaf di akhir ucapanya. Keduannya kembali menatap pahatan kata (hujan) itu, entah apa yang di maksud dengan kata hujan yang di pahat oleh gadis kecil itu, mungkin memiliki makna yang tersirat di baliknya.

"Ra, lo kenapa?," tanya Reza yang mendapati Kara hanya terdiam dan tak berkedip menatap pahatan pada batang pohon itu.

Kara mengerjap lalu menggeleng pelan setelahnya ia kembali berjalan.

[✔] ArKaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang