23. Lagu Milik Raisa.

38 2 0
                                    

Hilda meletakkan gelas milkshake rasa stroberinya dengan pelan dan tanpa semangat. Hatinya masih seperti di hancurkan tanpa ampun oleh pengkhianatan dari dua orang sekaligus. Kebahagiaan yang dulu ia puja-puja adanya dengan cowok berengsek bernama Hansel itu rasanya hanya sekelebat datangnya. Semesta benar-benar membuat Hilda membuka mata dan hatinya bahwa orang yang membuat dia menjadi manusia paling bahagia, bisa juga menjadi manusia paling menderita.

Malam ini malam Minggu. Hilda sampai lupa bahwa dulu ia selalu menikmati malam Minggunya sendirian. Di kamar bersama dirinya sendiri. Bersama malam yang cerah ataupun hujan Hilda tetap menikmatinya. Ada atau tidaknya teman-teman yang bisa diajak video call Hilda tetap menyukai kedatangan malam Minggu.

Sekarang, di sinilah Hilda. Bersama kerumunan orang di kafe outdoor dan pameran yang dulu ia kunjungi bersama Hansel. Duduk sendirian ditemani para pasangan yang terlihat bahagia dan beberapa orang lagi bersama teman atau kerabatnya.

"Ada yang mau bernyanyi di depan? Yang jomblo atau yang punya pasangan atau malah ada yang baru saja jomblo, nih?"

Suara seorang vocalist band di kafe yang daritadi bernyanyi tiba-tiba menyadarkan lamunan Hilda. Entah apa yang merasukinya, Hilda mengangkat tangan tanda berminat untuk menyanyi di depan.

"Wah, ada gadis cantik yang mau menyanyi ternyata. Silahkan, Neng, untuk siapa mau bernyanyi?" tanya sang vocalist kepada Hilda yang tersenyum tipis.

"Diri sendiri." jawab Hilda kemudian sang vocalist band itu mempersilahkan Hilda untuk bernyanyi. Hilda mengangguk lalu memberi tahu kepada anggota band lagu yang akan ia bawakan.

Alunan intro musik membawa seluruh pengunjung kafe hening menikmatinya. Sampai Hilda bernyanyi, tidak ada yang berbicara seperti saat sang vocalist asli dari band tersebut bernyanyi. Kali ini semua menyimak Hilda. Menyimak bagaimana Hilda membawakan lagu itu dengan penuh penghayatan.

Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama
Seolah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
Seolah janji dan kata-kata yang telah terucap
Kehilangan arti
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah
Tergantikan pahitnya sakit hati
Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku 'kan menunggu tapi tak selamanya.

Banyak pengunjung kafe yang menitikkan air mata karena suara Hilda ditambah dengan rasa yang dibubuhkan di dalamnya menggambarkan jika lagu itu benar-benar mencerminkan dirinya saat ini. Menggambarkan hancurnya hatinya saat ini.

Sampai lagu milik Raisa itu selesai dibawakan, masih banyak pengunjung yang menangis dan berdiri untuk memberikan apresiasi kepada Hilda. Hilda tersenyum sendu, ikut terbawa suasana. Ia ikut menangis bersama pengunjung. Dia tidak ada niat untuk menangis atau membuat suasana ini menjadi suasana yang kelabu. Ia hanya ingin menghibur diri tapi sepertinya malah sebaliknya.

"Saya tidak berniat membuat suasana kafe menjadi sedih seperti perpisahan sekolah. Lagu itu menggambarkan isi hati saya sekarang. Mungkin terlalu banyak perasaan yang ikut larut selama saya bernyanyi tapi begitulah faktanya. Saya harap, kalian yang sedang memiliki pasangan bisa menjaga satu sama lain dengan baik. Jangan sampai lagu tadi menjadi kenyataan untuk kalian. Untuk kalian yang belum memiliki seseorang yang spesial, percayalah, semesta punya jalan cerita yang istimewa juga untuk kalian. Terimakasih telah ikut larut bersama lagu ini." ucap Hilda menutup persembahan lagu yang ia nyanyikan di panggung lalu turun dari tempatnya.

Air mata Hilda masih belum reda jatuhnya, ia masih menangis di ujung kafe sendirian. Meski lagu juga sudah berganti dan suasana sudah kembali seperti sedia kala, Hilda masih setia bersama air matanya yang menghiasi wajahnya sekarang.

"Hilda? Kok nangis?"

Hilda mendongak melihat siapa yang bertanya disaat ia tidak bisa bicara sekarang. Seorang pemuda dengan kaos warna hitam dan dipadu jaket hitam berdiri di hadapannya. Memperhatikan wajahnya dengan lekat yang basah oleh air mata. Dengan cekatan, pemuda tadi pengambil kursi untuk duduk di hadapan Hilda dan mengusap wajah Hilda yang masih basah dengan tangannya.

"Hansel sama Charin—" belum selesai Hilda bicara dengan sesenggukan, pemuda tadi memeluk Hilda. Mengusap kepalanya lembut, mendekap tubuh mungil Hilda, dan menenangkan Hilda seakan tahu apa yang akan Hilda jelaskan.

"Ternyata dia benar-benar mengkhianati cewek yang nggak berdosa kayak lo." ucap pemuda tadi.

"Ardo, mereka benar-benar keterlaluan. Mereka main dibelakang gue. Mereka tega. Salah gue apa sama mereka sampai mereka tega menghianati gue kayak gini?" suara Hilda serak membuat hati Ardo ikut sesak dibuatnya.

Ardo melepaskan pelukannya dan menatap wajah Hilda lekat-lekat. "Gue nggak bisa nyuruh lo maafin mereka, mereka keterlaluan sama lo. Tapi, lo nggak boleh sedih terus. Malam ini, biarkan air mata lo semuanya tumpah sampai habis. Sedangkan besok, lo harus senyum dengan senyum terbaik. Itu adalah cara lo membalas si berengsek itu. Gue akan menompang lo di sini." ucap Ardo dengan senyum menguatkan. Tangannya mengusap lembut kepala Hilda. Berusaha meyakinkan gadis yang ada di depannya itu.

Hilda mengangguk meski masih menangis. Kata-kata Ardo itu berusaha ia cerna dengan baik sampai ke otaknya. Mencoba kuat. Benar, dia tidak boleh bersedih terus. Air matanya hanya akan terbuang sia-sia. Dia berjanji tidak akan menangis lagi dan akan membalas dua orang yang sudah mengkhianatinya itu dengan kekuatannya. Dengan bangkitnya dari segala kehancuran di malam Minggu ini.

***

Halo!
Hari ini, aku update dua part untuk menebus kengaretanku kemarin :(
Aku pengen usaha untuk update dua part setiap malam minggu. Doakan bisa menepati janji ya :)💜

See u❣️

Malam Minggu Hilda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang