14. Lampion

117 6 0
                                    

Sudah berselang lima hari ini Hilda dan Hansel resmi pacaran. Mereka tidak seperti anak-anak remaja lainnya yang pacaran tidak tau tempat dan situasi. Hilda dan Hansel adalah sepasang pasangan yang saling peduli tanpa menunjukkannya ke orang lain. Prinsipnya, cukup mereka berdua dan Tuhan yang tau kalau mereka saling menyayangi, peduli, dan menerima.

Hilda selalu nyaman bersama Hansel. Dia terlalu cepat menilai Hansel dari luar saja. Hanya dari pengelihatan bahwa Hansel itu menyebalkan. Tapi nyatanya, hati Hansel baik. Dan selama lima hari ini, Hilda dijungkir balikkan oleh cintanya yang ternyata kian berkembang.

"Hari ini ada pameran di kota. Kamu mau kesana?" tanya Hansel lalu memakan makanannya.

Mereka sedang ada disalah satu kafe dekat rumah Hilda. Rencananya mereka hanya akan makan. Tapi ternyata Hansel mengajak Hilda untuk pergi ke pameran.

"Pameran apa?"

"Kalau nggak salah pameran lampion sama foto. Oh, ada lukisan juga. Ada bunga juga. Kamu mau? Kita kesana aja. Nggak jauh dari sini." jawab Hansel lalu membersihkan noda yang ada di bibir Hilda.

Hilda hanya tersenyum. "Makasih. Kalau kamu mau, aku juga mau."

Hansel mengangguk. Mereka segera membayar ke kasir dan keluar dari kafe menuju lokasi pameran yang ada di kota. Memang setiap tahun, kota selalu mengadakan pameran bertemakan kreativitas. Banyak anak remaja yang berpartisipasi di pameran tersebut. Kalau bisa, Hilda pengen ikut pameran. Tapi memang mau memamerkan apa? Hasil olimpiade matematikanya? Nggak mungkin juga, kan.

Hilda turun dari motor Hansel dan mengikuti cowok itu berkeliling. Tangan mungilnya dikurung oleh tangan besar Hansel. Rasa aman seketika menjalari tubuh Hilda.

"Ini bunganya bagus, loh. Kamu mau?" tanya Hansel pada sebuah bunga anggrek yang dijual di pameran.

"Bagus. Tapi aku nggak terlalu suka anggrek."

"Kalau aster mau?" tanya Hansel lagi.

"Umm... Aku suka. Tapi aku nggak pintar menjaga bunga. Cuma kakak aku yang ngerawat. Nggak usah aja, deh." jawab Hilda akhirnya.

"Oke. Kalau gitu, kita jalan lagi."

Hansel menggandeng tangan mungil Hilda yang sangat pas di tangannya. Tiba-tiba tubuh Hilda limbung karena tertabrak seseorang. Hal itu membuat Hansel terkejut kemudian dengan cepat membawa Hilda ke tempat yang agak sepi.

"Kamu gapapa?" tanya Hansel sambil memeriksa tubuh Hilda.

"Enggak. Nggak perlu dipermasalahkan." jawab Hilda. Padahal pundaknya agak sakit karena orang tadi menabraknya dengan agak keras. Yah, nasib punya tubuh mungil kan begini.

Hansel mengangguk lalu membawa Hilda ke sebuah kios lampion. Tentu saja Hilda langsung terperangah. Wajahnya berseri seakan mendapatkan bulan. Hilda menyukai berbagai macam cahaya. Apalagi lampion seperti ini. Memangnya siapa yang tidak suka dengan lampion yang mempunyai bentuk unik dan menarik?

"Kamu mau? Kalau mau aku belikan." tanya Hansel.

"Eh? Nggak usah. Besok aja aku kesini sama Mama. Biar dibelikan Mama."

"Gapapa. Kamu milih aja. Aku yang beliin, kok."

"Tapi ini mahal, Hansel. Semuanya diatas seratus. Mendingan biar Mama aku aja yang beli."

Hansel hanya terkekeh lalu mengacak rambut Hilda. "Kamu itu pacar aku. Jadi aku bakal kasih apa yang kamu minta. Sekarang kamu pilih aja. Nggak ada penolakan, oke?"

Hilda menghela nafas. Akhirnya ia memilih juga lampion yang terbuat dari benang yang disusun sedemikian rupa dan dibentuk menjadi karakter yang unik. Semua lampionnya bagus tapi pandangan Hilda tertuju pada satu lampion dengan warna dominan biru muda berbentuk beruang. Ia akhirnya mendekat dan melihat harganya. Tidak mungkin Hilda memilih lampion itu. Harganya terlalu fantastis.

"Kamu mau yang itu? Ambil aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu mau yang itu? Ambil aja." ucap Hansel yang ada dibelakangnya.

"Tapi-"

"Jangan pikirin masalah harga, Hilda. Kan aku yang janji mau beliin, kan? Ayo, ambil lampionnya terus kita bayar." potong Hansel cepat.

Hilda hanya pasrah dan mengangguk. Mereka kemudian menuju kasir. Sebelum dibayar, lampion itu dicoba untuk memastikan bahwa keadannya baik. Setelah menyala dan dipastikan keadannya baik, Hansel membayar lampion itu.

"Hansel," panggil Hilda ketika mereka berjalan keluar dari kios lampion.

"Ya?"

"Makasih. Makasih untuk lampionnya. Padahal aku nggak ada niat untuk minta beliin ini."

Hansel tersenyum lalu mengusap rambut Hilda. "Nggak masalah. Asal kamu senang, aku juga ikut senang."

Hilda hanya tersenyum tipis menutupi pipinya yang pasti sudah seperti tomat rebus. Sejak pacaran dengan Hilda, Hansel menjadi sangat lembut padanya. Tidak seperti dulu yang selalu iseng dan membuatnya jadi naik darah dan hampir serangan jantung. Untung saja jantungnya masih baik sampai sekarang.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Hansel menatap Hilda yang wajahnya sudah menunjukkan bahwa dia lelah. Dengan cepat, Hansel mengajak Hilda menuju parkiran dan membawanya pulang.

"Makasih buat hari ini. Makasih juga lampionnya." ucap Hilda ketika mereka sampai di rumah Hilda.

"Iya. Simpan baik-baik, ya. Jangan tidur malam-malam. Aku pulang dulu. Good night and nice dream."

"Nice dream, too."

Hansel tersenyum sekilas lalu melajukan motornya keluar dari perumahan rumah Hilda. Meninggalkan Hilda yang masih tersenyum di tempatnya.

***

Haii! Jumpa lagi :)

Mau sekalian promosi nih :v
Baca juga cerita aku yang Adhena dan puisi yang judulnya For You yaaa :)) kritik dan sarannya ditunggu. Terimakasih😊

See you💙

Malam Minggu Hilda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang