29. Malam Minggu Hilda

43 2 0
                                    

"Kadang, kita butuh sakit untuk menghargai apa itu sehat, butuh jarak untuk menghargai rindu, dan butuh sendiri untuk menghargai bersama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kadang, kita butuh sakit untuk menghargai apa itu sehat, butuh jarak untuk menghargai rindu, dan butuh sendiri untuk menghargai bersama."
—Hilda.

Hilda tersenyum melihat tinta warna biru yang tertuang di kertas putih miliknya. Ia menempelkan fotonya yang ia anggap paling spesial diantara foto yang lain di atas tulisannya. Hilda melihat kembali note book bewarna biru kesayangannya. Banyak foto dan tulisan yang sengaja ia tempel di sana. Mengisi setiap lembaran yang kosong menjadi lebih terlihat indah dan menyenangkan untuk dilihat.

Hilda menyimpan bukunya di rak buku. Hilda bangkit dari duduknya menuju jendela kamarnya. Langit hitam yang digelantungi awan dan berlukiskan bintang langsung menyapa lensa mata Hilda saat itu. Waktu berlalu cepat sampai ia tidak menyadari sudah malam Minggu lagi. Malam paling menyenangkan untuk Hilda maka ia selalu mengisinya. Sejak dulu, setiap malam Minggu Hilda selalu dibebaskan untuk melakukan apapun oleh orangtuanya selama masih batas wajar. Maka Hilda tidak akan menyia-nyiakan malam kebebasan itu.

Hilda mengambil lampu tumblr yang ia simpan di laci meja belajar kemudian ia nyalakan. Warna putih dan warm white menjadi penerang setelah lampu utama kamar Hilda dimatikan. Sudah lama Hilda tidak mengisi malam Minggunya seorang diri. Kehadiran seseorang benar-benar mengubah malam Minggu Hilda menjadi beda. Bukan hanya malam Minggunya yang berbeda, tapi juga perasaannya.

Lampion beruang bewarna biru yang tergeletak di nakas meja tampak suram karena tidak ada penerangannya. Lampion dari Hansel yang masih Hilda simpan. Hilda menyimpannya bukan karena ia masih berharap pada Hansel atau tidak bisa melupakannya, tetapi karena lampion itu terlalu lucu untuk dibuang begitu saja dan keadaannya juga masih bagus. Lebih baik Hilda jadikan hiasan. Sebagai pengingat juga bahwa Hilda pernah disakiti oleh sang pemberi lampion itu agar Hilda tidak akan pernah kembali kepada sang pemberi lampion itu sampai kapanpun.

Hilda mengisi bagian dalam lampion dengan lampu tumblr warna putih. Seketika, cahaya langsung mengisi bagian dalam lampion dan menampilkan lampion yang lucu dan indah. Hilda membawanya ke meja dekat jendela lalu ia duduk di sofa. Melihat langit yang cerah untuk mengisi malam Minggunya. Ditambah camilan dan cokelat hangat kesukaan Hilda untuk menyempurnakan malam spesial untuknya itu.

Meong...

Hilda menoleh ke arah pintu yang tidak tertutup rapat dan di sana sudah ada Mion, kucing Hilda yang masuk. Hilda segera menghampiri dan menggendong Mion. Kucing lucu itu sangat menurut ketika Hilda membawanya ke sofa.

"Kayaknya lo tahu gue sendirian. Makannya kesini. Atau jangan-jangan lo di suruh Mama untuk nemenin gue?" tanya Hilda pada kucingnya.

"Hil, Mama masuk, ya?"

Suara ketukan pintu seakan mengenstrupsi Hilda. Hilda kemudian melepaskan kucing kesayangannya yang naik ke jendela.

"Iya, Ma."

Mama tersenyum melihat putri bungsunya yang duduk di sofa. Wajahnya sudah tidak murung lagi seperti beberapa hari kemarin. Senyumnya bukan lagi senyum yang dipaksakan saat bertemu dengan Mama. Putri bungsunya itu sudah kembali seperti sedia kala.

"Masalahmu sudah selesai?" tanya Mama sembari meletakkan kue red velvet di meja.

"Masalah apa?" Hilda bertanya balik karena dia merasa tidak bicara tentang masalahnya kepada Mama.

"Tentang cowokmu itu, lho."

"Pasti Kak Valey yang ngasih tahu!"

"Valey ngasih tahu Mama sebelum kamu cerita dan traktir makan dia, kok. Jadi, kamu nggak perlu marah sama kakakmu itu." sahut Mama dengan tawa kecilnya.

Hilda mengangguk. Tangannya mencomot kue red velvet itu dan memakannya sekali suap. Tidak perlu sendok untuk memakannya karena hanya akan membuang-buang waktu untuk menikmatinya. Menurut Hilda, makan kue dengan menggunakan sendok tidak akan terasa nikmat.

"Kamu masih nangisin dia?" tanya Mama lagi.

"Enggak. Ngapain nangisin orang kayak gitu, Ma. Buang-buang tenaga."

"Bagus kalau gitu. Cowok begituan, nggak bisa diperjuangkan lebih lanjut, Hil. Sekali dia main dibelakang, pasti akan keterusan nanti meskipun dia udah janji untuk setia."

"Hilda ngerti, Ma. Makannya Hilda nggak mau ngasih dia kesempatan lagi. Buat Hilda, cowok model Hansel nggak pantas buat nerima kesempatan kedua." kata Hilda dengan mantap.

Mama tertawa kecil lagi. Hilda kalau sudah diajak ngomong soal cowok seperti hendak diajak liburan. Sangat semangat. "Kamu sudah besar, Sayang. Dulu kayaknya masih Mama gendong dan tidur sama Mama. Sekarang udah ngerti aja soal cowok."

"Ini berkat didikan Kak Valey juga tuh kalau masalah cowok."

"Jadi, apa yang kamu ambil dari kejadian ini?" Mama mengambil bantal dan menompang dagunya. Bersiap mendengar jawaban Hilda.

"Kita harus menjaga apa yang udah dikasih ke kita. Apapun. Kasih sayang, hal-hal menyenangkan, atau sebatas barang. Mungkin itu terlihat sepele, tapi kalau sudah hilang baru terasa itu nggak sekedar sesuatu yang sepele. Terus, jangan terpikat kebahagiaan yang diberikan orang lain. Kebahagiaan itu bukan tergantung orang lain karena kalau tergantung orang lain, saat dia pergi kebahagiaan itu juga hilang." jelas Hilda. Ia meminum cokelat yang ada di gelas lalu melanjutkan, "Perihal memaafkan juga. Aku udah kecewa banget sama Charin dan Hansel. Dua orang itu adalah orang yang selalu bawa aku menuju langit dan aku nggak pernah bisa bayangin kalau mereka bisa menjatuhkanku langsung ke bumi tanpa aba-aba. Tapi, memaafkan harus tetap dilakukan meskipun sulit. Cuma dengan memaafkan kita bisa tenang. Masalah balasan, menurutku aku nggak perlu campur tangan karena pasti sudah ada yang ngatur semuanya."

Mama mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala Hilda. Kedua sudut bibirnya terangkat, menyunggingkan senyum. Mata teduhnya menatap Hilda dengan lembut. Tersirat kebanggaan pada putrinya yang sudah bisa berpikir dewasa. Ada siratan terimakasih juga di sana karena putrinya sudah mau memaafkan orang yang mengecewakannya bahkan merusak kepercayaannya.

"Kamu, jangan pernah seperti mereka. Jadilah lebih baik. Jadikan semua ini sebagai pelajaran. Jangan pernah kecewakan orang lain. Kalau salah minta maaf. Kalau orang lain salah, maafkan. Mama yakin kamu adalah orang baik dan pasti akan jadi lebih baik. Akan ada yang sayang sama kamu tulus tanpa syarat. Pasti ada selama kamu menjadi orang baik, Mama yakin dia pasti ada."

Hilda mengangguk. Ia memeluk Mamanya erat. Membenamkan pikirannya dalam dekap tubuh Mama. Malam Minggu ini adalah malam Minggu terhangat sepanjang hidup Hilda. Malam Minggu paling berharga untuk Hilda karena Mama dan segala wejangannya ikut merayakan malam spesial untuk Hilda. Malam Minggu Hilda kali ini adalah tentang mensyukuri apa yang ada dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Soal melupakan mungkin butuh proses lama, tapi memaafkan harus tetap dilakukan. Hilda, tidak mau mengecewakan orang disekitarnya dengan memberi harapan palsu atau sekedar menjadikannya pelampiasan. Lebih baik jujur tetapi menyakitkan daripada harus berbohong tetapi mengecewakan.

Dikhianati oleh sahabat dan pacarnya adalah hal paling mengecewakan yang pernah Hilda terima. Dan Hilda tidak mau Ardo juga merasakannya. Itu adalah alasan Hilda menolak memberi kesempatan pada Ardo. Karena pada akhirnya, Hilda butuh waktu lama untuk kembali membuka hatinya.

***

Hai!
Satu part lagi menuju ending!
Terimakasih sudah membaca ♥
I hope u enjoy!💘

See u💖
Purple u 💜

Malam Minggu Hilda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang