28. Maaf, ya?

32 2 0
                                    

Hilda mengetuk-ngetukan pulpen yang ada di tangan kanannya ke meja. Sejak tadi, pelajaran biologi terasa hampa rasanya untuk Hilda. Tidak seperti biasanya yang selalu disambut dengan hati berbunga-bunga oleh Hilda. Pelajaran biologi pagi ini terasa kosong karena Hilda sibuk memikirkan tentang Ardo dan permintaannya. Hilda menghela nafas. Bingung dan juga merasa tidak enak.

Sampai Bu Nurya keluar dari kelas, Hilda tidak menyadarinya. Pikirannya benar-benar sudah diambil alih oleh cowok bernama Ardo yang kini duduk di depannya. Dengan keberanian yang sejak tadi Hilda kumpulkan, Hilda ingin mengatakan sesuatu untuk cowok yang menurut Hilda sangat baik itu. Meskipun hanya sebatas teman satu kelas, Hilda bisa merasakan betapa baiknya Ardo. Bahkan di mata orang lain pasti juga begitu. Di dekat Ardo sama dengan mengobati luka. Tapi Hilda ragu untuk mendekati Ardo karena lukanya terlalu parah sampai Hilda tidak bisa menciptakan keyakinannya sendiri.

"Ardo," panggil Hilda. Ardo menoleh dengan senyum yang ia persembahkan untuk Hilda. Senyum hangat yang berhasil membuat Hilda semakin merasa bersalah.

"Kenapa, Hil?"

"Gue mau ngomong. Ikut gue, yuk?"

Ardo mengangguk lalu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah mengikuti Hilda yang membawanya ke taman. Tempat sepi yang jarang dikunjungi tetapi menyimpan pemandangan yang sayang kalau dilewatkan.

Hilda memejamkan matanya lalu menarik nafas panjang. Menetralkan perasaannya dan mengumpulkan keberanian untuk bicara. Ardo menunggu Hilda dengan sabar. Senyumnya tidak redup barang sedetikpun membuat Hilda semakin bingung untuk memulai bicara.

"Maaf, ya?" hanya itu yang bisa diucapkan Hilda dari banyak kata yang telah ia rangkai menjadi satu di otaknya.

"Maaf? Buat apa? Emang udah mau lebaran, ya?" Ardo terkekeh kecil.

"Bukan, Do. Maaf karena gue mau jawab soal permintaan lo."

Hansel berhenti terkekeh. Wajahnya berubah serius tapi masih terukir senyum di sana. Senyumannya seakan bicara bahwa apapun yang akan Hilda katakan, Ardo menerimanya. Bukannya lega, perasaan tidak enak dan sedih semakin membuncah di hati Hilda.

"Do, gue nggak bisa. Gue nggak bisa nerima kebaikan lo lagi. Gue pikir, lo jangan berharap lagi sama gue." ucap Hilda akhirnya. Hilda menunduk, menahan air mata yang hendak keluar. Hilda sangat merasa bersalah pada Ardo tapi ia juga tidak ingin Ardo berharap lebih pada Hilda yang nyatanya tidak ingin memberi harapan pada Ardo.

"Jadi, lo nggak mau ngasih gue kesempatan?" tanya Ardo pelan. Tangannya ia letakkan pada kedua pundak Hilda membuat gadis itu mengangkat kepalanya.

Hilda melihat dengan jelas mata Ardo dari dekat. Mata cokelat gelap yang siap memerangkap siapapun dalam dekap hangatnya. Senyum tipis yang tidak lepas meskipun Hilda dengan jelas memberinya larangan untuk berharap kepadanya lagi. Tidak ada sorot yang menandakan amarah di sana. Hanya tenang dan hangat yang tertinggal di wajah Ardo sekarang.

"Gue nggak mau lo sakit. Gue benar-benar belum mau nerima siapapun. Gue tahu lo kecewa, tapi gue nggak mau lo lebih kecewa setelah gue kasih kesempatan padahal gue nggak bisa buka hati lagi untuk waktu yang lama. Maafin gue."

Tubuh Hilda bergetar, matanya memerah melihat Ardo yang menarik nafas panjang kemudian melepaskan tangannya dari kedua bahunya. Senyum getir terbit dari dua sudut bibir Ardo. Matanya masih hangat tapi Hilda yakin Ardo sedang menahan rasa kecewa yang tidak ia gambarkan lewat iris cokelatnya. Lensa Ardo menjelajah pemandangan langit biru yang diisi oleh awan. Ia memejamkan matanya sebentar lalu kembali fokus pada Hilda.

"Gue benar-benar minta maaf. Gue udah ngecewain lo yang padahal udah baik banget sama gue. Lo teman gue yang paling baik dan gue pengen selamanya lo begitu."

Ardo yang merasakan suara Hilda bergetar langsung mengusap kepalanya pelan. Menerbitkan lengkungan manis yang menenangkan ditambah sorot mata hangat. Ia menganggukkan kepalanya dan memindahkan tangannya ke pundak Hilda lagi.

"Hil, gue udah janji, kan? Apapun keputusan lo gue terima. Jadi, kalau itu keputusan lo dan kemauan lo gue terima juga. Karena kemauan lo yang mana masih pengen gue jadi teman baik buat lo, jadi gue turutin. Biar gue simpan rasanya buat gue sendiri dan gue akan sayang sama lo sebagai teman karena kemauan lo." kata Ardo. Matanya seakan mengurung Hilda dalam iris cokelatnya.

Air mata langsung lolos begitu saja dari pelupuk mata Hilda. Ia sudah tidak bisa menahan rasa bersalahnya kepada Ardo. Bagaimana bisa semesta menciptakan manusia sebaik Ardo untuk Hilda tolak hadirnya? Kenapa juga Hilda tidak bisa membuka hatinya kembali untuk Ardo yang sangat baik kepadanya? Banyak tanya muncul di kepala Hilda bersama dengan tangis yang membuncah. Rasa bersalah, tidak enak, kecewa semuanya menjadi satu di dalam perasaan Hilda sekarang.

Ardo mengusap pundak Hilda pelan. Ia benar-benar ingin memeluk gadis di depannya yang kini tubuhnya bergetar karena tangisan. Ardo tidak ingin egois. Semakin Ardo peluk erat tubuh Hilda, pasti Hilda akan lebih merasa bersalah karena sudah menolak memberi kesempatan untuk Ardo. Meskipun kecewa, setidaknya Ardo tidak boleh membuat Hilda ikut merasa bersalah. Dikatakan kecewa, tentu saja Ardo kecewa. Tidak ada yang tidak kecewa saat cintanya ditolak, bukan?

"Sudah, jangan nangis. Gue nggak apa-apa, kok. Gue udah janji juga sama diri gue sendiri apapun jawaban lo, gue akan menerimanya dengan lapang dada. Karena perasaan manusia nggak bisa dipaksa. Gue paham itu." Ardo mengusap pipi Hilda yang masih basah. Meskipun masih sesenggukan, setidaknya air matanya sudah berhenti mengalir dari mata Hilda.

"Gue benar-benar minta maaf."

"Lo pikir lebaran minta maaf terus? Nolak cinta itu nggak dosa, kok. Nggak usah dipikirin lagi. Anggap aja gue adalah teman lo yang paling baik sedunia gue udah bahagia." kata Ardo berusaha menghibur Hilda.

Hilda menganggukkan kepalanya lalu mengulum senyum tipis. Membersihkan sisa air mata di pipinya. Ia menghela nafas berusaha menetralkan perasaan dan pikirannya agar bisa fokus saat pelajaran. Ia tidak boleh terus-menerus larut dalam rasa bersalahnya sampai mengabaikan segalanya. Bukankah Ardo yang tidak marah-marah kepada Hilda itu sudah cukup untuknya? Ardo sudah berusaha kuat meskipun Hilda tahu ia kecewa. Jadi, Hilda harus kuat juga.

"Makasih karena lo nggak marah sama gue." ucap Hilda pelan.

"Nggak mungkin gue marah. Lo pikir gue masih bocah yang cintanya ditolak terus banting motor? Gue ini udah dewasa dan tentunya genius. Mana mau marah-marah ngabisin tenaga cuma karena ditolak cintanya. Not my style!" sahut Ardo dengan senyuman yang berlipat-lipat lebih lebar daripada sebelumnya.

Tanpa sadar, Hilda ikut terseret dalam senyuman Ardo. Hilda diam-diam bersyukur juga bertemu dengan Ardo. Cowok yang lapang dada dan mampu berfikir dewasa. Dari Ardo Hilda juga belajar, untuk apa memikirkan manusia yang sudah mengkhianati dirinya? Untuk apa memendam emosi dan dendam kepada orang yang sudah menyakitinya? Yang Hilda butuhkan adalah kekuatan untuk sembuh tanpa melibatkan orang lain di dalam prosesnya. Kebanyakan orang akan meminta orang lain agar membantu mereka keluar dari rasa sakit, tapi Hilda enggan. Hilda tidak ingin menjadikan orang lain sebagai pelampiasan atas luka yang dideritanya. Hilda ingin sembuh sendiri. Bersama dirinya sendiri, Hilda ingin pulih kembali.

***

Hai!
Gimana malam Minggu kalian?
Untuk malam Minggu ini aku beri satu part saja, ya.
Sudah mau mendekati yang terakhir! 💘

See u❣️
Purple u💜

Malam Minggu Hilda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang