12. Terima atau tidak?

130 7 0
                                    

Hilda adalah tipe cewek pemikir. Sekali dia mikir maka ia akan menjadi patung yang tidak dapat bergerak. Pemikirannya selalu ia wujudkan. Selalu ia jadikan kenyataan. Apapun pikiran Hilda, pasti diterima. Karena pikiran Hilda adalah kenyataan yang membuat semua orang bangga.

Hilda cerdas. Banyak yang mengakui itu. Hanya saja Hilda terlalu tertutup akan kecerdasannya. Hilda jarang ikut olimpiade yang diadakan di kotanya. Walaupun beberapa bulan yang lalu, Hilda sempat dipaksa dan akhirnya mau. Alasannya klasik. Hilda minder dan takut jika gagal membuat bangga sekolah.

Alhasil, Hilda berhasil. Hilda hanya perlu keberanian.

Tapi untuk yang satu ini, kecerdasan Hilda kadang tidak berguna. Tapi hati yang berperan untuk memutuskan hal ini. Kejadian tadi malam, tentang Hansel yang tiba-tiba menyatakan perasaannya membuat Hilda tidak bisa tidur semalaman. Bahkan Hilda tidur jam lima pagi dan bangun setengah enam.

"Gue bisa gila, Tuhan. Gue harus gimana? Kenapa sih masalah ini jadi gede kalau gue yang ngadepin? Seandainya yang ditembak itu Charin. Pasti dia santai aja kalau mau nolak. Kalau mau nerima ya tinggal ngomong 'oke'. Tapi kalau gue? Gimana?"

Hilda meremas kertas sobekan dan membentuknya menjadi bola lalu melemparkannya ke halaman depan dengan asal tanpa liat-liat.

"Hil, kalau mau lempar kertas itu ati-ati. Untung kertas, kalau batu nggak akan Mbak maafin!"

Hilda menengok ke bawah dan mendapati Valey, kakak keduanya yang sedang menyiram tanaman di halaman. Hilda nyengir lalu membuat tanda V dari jari telunjuk dan tengahnya.

"Maaf, Mbak. Abis, Mbak nggak kelihatan, sih disitu." ucap Hilda.

"Makannya liat-liat, dong."

"Iya, Mbak. Maafin adekmu ini, lah."

Hilda meminum cokelat panasnya kemudian memakai kacamatanya dan mulai membaca novel. Yah, walaupun novel itu sudah Hilda baca sampai seratus kali, Hilda masih suka novel itu.

Denting ponsel menandakan adanya telpon membuat Hilda menutup novelnya dan mengambil ponsel yang tergeletak tak bernyawa di kasurnya. Tanpa melihat nama penelpon, Hilda langsung mengangkat telpon tersebut.

"Pagi, Hilda!"

Dan harusnya tadi Hilda melihat nama penelpon agar Hilda bisa menghindari ini.

"Kaget ya kalau Hansel nelpon pagi-pagi? Kenapa, sih?"

"Ngapain sih, lo? Kurang kerjaan?"

"Iya, nih. Kasih gue kerjaan, dong. Menjaga dan mencintai lo, misalnya."

"Najis."

"Hehe... Soal yang tadi malem gimana?"

"Yang tadi malem? Apaan?" tanya Hilda pura-pura amnesia.

"Yang di alun-alun. Yang gue bilang suka sama lo."

"Oh."

"Oh doang?"

"Terus gue harus gimana? Ngomong wow gitu ke elo sambil nari kayak orang gila?"

"Nggak perlu. Lo ngomong suka sama gue aja itu udah lebih dari kata wow."

"Ngarep."

Hilda semakin jengkel saja. Amarahnya dan rasa kesalnya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun naik lagi. Hilda jadi menyesal tadi malam sempat luluh pada Hansel yang terlihat bersungguh-sungguh.

"Hilda makan belum?"

"Emang urusan lo?"

"Iya, lah. Ini itu urusan gue. Kalau lo sakit, siapa yang repot? Orangtua lo, kan?"

"Ortu gue yang repot kenapa lu yang ribet?"

"Sebagai caman alias calon mantu yang baik, gue itu harus mengingatkan lo dan peduli sama orangtua lo."

Hilda meremas kertas lagi. Karena saking kesalnya, sekarang ia melemparkannya ke halaman rumah. Bahkan karena melempar sekuat tenaga, kertas itu sampai melewati pagar bak kock badminton.

"Heh, dengerin, ya. Gue. Nggak. Akan. Nerima. Lo. Titik." ucap Hilda lalu mematikan telfonnya secara sepihak.

Hilda melempar ponselnya ke tempat tidur lalu beranjak turun menuju halaman. Lebih baik Hilda ikut kakaknya untuk menyirami tanaman daripada meladeni Hansel yang sangat kurang kerjaan. Bukannya berfaedah malah jadinya beban bertambah. Kayak utang aja.

Hilda menengok ke luar pagar rumahnya. Beberapa hari lalu, Hilda mendapat kabar bahwa temannya, Sasha pindah rumah ke komplek perumahan Hilda. Dan Hilda sekarang melihat cewek itu sedang duduk sambil mengelus lembut kucing miliknya.

Hilda menghampiri Sasha yang tengah memberi makan si kucing yang Hilda ketahui bernama Emo. Kucing dengan mata cokelat dan bulu abu-abu tebal itu seperti boneka di mata Hilda. Hilda kurang suka kucing. Kucing di rumahnya aja itu milik kakaknya. Hilda cuma ikut merawat. Karena kalau disia-siakan, ia bisa dibunuh oleh kakaknya secara tragis.

Ngeri.

"Hai, Sha!" sapa Hilda.

"Eh, halo. Masuk, Hil. Mo, lu ke dalem dulu, ya. Nanti lu dengerin gosip kan bahaya." ucap Sasha pada kucingnya. Dan lucunya, kucing itu menurut lalu masuk ke rumah.

"Tadi Hansel telpon gue. Dan tadi malem dia nembak gue." ucap Hilda langsung ke intinya tanpa sambutan apapun.

"Oh, terima aja, kali."

"Kok lo nggak kaget?"

"Ngapain kaget? Mendingan lu terima. Gue liat, Hansel itu tipe setia, deh." jawab Sasha enteng sambil menyesap tehnya.

"Tapi... Gue—"

"Trauma sama masa lalu lo sama si Levin? Hil dengerin, cowok itu nggak semua sama, kok. Gue percaya kalau Hansel itu baik. Yah, emang mukanya aja yang bikin gedeg."

Hilda diam. Kalau dipikir lagi, ucapan Sasha ada benarnya. Nggak semua orang khususnya cowok itu sama. Mungkin aja Hansel bisa nyembuhin luka hati Hilda gara-gara Levin, mantan pacarnya dulu. Hilda jadi berfikir lagi. Apakah ia harus menerima atau menolaknya?

Tapi tadi dia sudah bilang kalau tidak akan menerima cowok itu. Jadi Hilda harus gimana ini, Tuhan?

***

A/N:

Hallo!
Makasih untuk seluruh teman-teman yang udah bersedia membaca MMH ini, ya. Yah, meskipun apdetnya ngaret :v

👽: "kek ditunggu aje lu tong"
👸: "diem lu upil kodok!"

Makasih untuk semuanya, ya!

See you ❤

Malam Minggu Hilda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang