4. Surat Cinta dan Persaingan

986 105 44
                                    

Apa bisa dipastikan yang baca ini udah mandi?

***

Zarah menyeka keringat di dahinya. Panas matahari begitu menyengat sampai membuat kulitnya jadi merah. Bukan hanya Zarah saja yang bermandikan keringat, siswa yang lain pun begitu.

Upacara sudah berlangsung cukup lama. Yang paling banyak menyita waktu adalah bagian memberi amanah. Zarah tidak mendengarkan dengan jelas apa saja yang sudah disampaikan kepala sekolah. Zarah bersembunyi di samping Cia agar terhindar dari matahari.

“Lemah banget jadi cewek.” Cia tersenyum miring. Tidak seperti yang lain, ia justru sengaja memanggang kulitnya. Dia adalah cewek yang perkasa dan suka tantangan. Makanya agak dihindari cowok-cowok, takut ditendang!

“Aku nggak mau hitam,” jawab Zarah.

“Kena matahari sekali seminggu nggak apa-apa, Zarah. Lagian kamu nggak akan langsung berubah jadi monyet! Matahari pagi itu sehat!”

Zarah melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada guru yang melihatnya mengobrol. SMA Pujian memiliki aturan yang cukup ketat. Disiplin. Semua guru mempunyai karakter yang sama, tegas dan juga tak suka bercanda. Ah, terkecuali dengan guru BK.

Jika di sekolah lain guru BK adalah tempat kematian, beda lagi dengan sekolah Zarah. Guru pembimbing itu memiliki sifat yang humoris dan juga iseng. Zarah kadang mendapat godaan dari Pak Gading. Sebenarnya ia tak suka diperlakukan seperti itu.

“Zarah, Abang kamu tahu kalau Pak Gading suka godain kamu?” Cia berbisik pelan. Dia tiba-tiba teringat dengan si guru muda.

“Nggak.”

“Kenapa nggak?”

“Nanti Pak Gading dapat masalah.”

“Maksudnya?”

Zarah makin menempeli Cia, dengan begitu suaranya bisa lebih jelas terdengar. “Kamu tahu sendiri gimana Abang aku, kan? Dia itu kadang nekad kalau ada yang macam-macam sama aku.”

“Iya juga, ya. Jangankan sama orang lain, sepupu kamu aja bisa dijadiin musuh. Wah, Abang kamu posesif banget.”

“Tapi aku sayang banget sama dia.”

Cia tersenyum simpul. “Aku juga sayang sama dia.”

Mata Zarah menyipit. Rupanya Cia masih memendam rasa suka kepada kakaknya. Sebenarnya dia bisa maklum, Zayn rupawan dan juga sudah mapan. Siapa yang tak terpesona?

Tapi ... ketika ada orang lain yang mengakui rasa cinta kepada Zayn, Zarah sedikit cemburu.

“Apa?” Cia melirik sebentar. “Kok diem? Kamu nggak suka kalau aku naksir sama Abang kamu?”

“Nggak.”

“Jujur amat!”

“Aku emang nggak suka, Bang Zayn itu punya aku!”

Cia melipat tangan di dada. “Kamu mikir, dong, Zarah. Masa aku harus saingan sama kamu? Kan lucu!”

Zarah menatap tanpa kata. Bukan seperti itu yang diinginkannya. Dia hanya tidak mau ada yang mengambil Zayn darinya. Untuk saat ini Zarah belum bisa melihat kakak tercintanya memberikan kasih sayang kepada orang lain.

Zarah memalingkan wajah. Pikirannya berkecamuk. Ia mendadak cemas akan masa depan. Bagaimana dia bisa hidup tanpa Zayn? Apakah akan ada orang yang bisa mengertinya? Bisa menghapus air matanya?

Sampai upacara selesai, Zarah tetap diam. Cia tidak lagi bertanya, itu sudah jadi kebiasaan. Zarah kadang tak terprediksi, emosinya masih terombang-ambing.

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang