11. Don't Touch!

615 65 21
                                    

Please smile....
(From Author for you, my reader)

***

Hari ini Ian bertekad menemui Zarah. Sudah lama perasaannya terbelenggu. Masa bodoh dengan ancaman Zayn, ia akan lebih sengsara jika melepaskan orang yang dicintai.

Ian berangkat jam sembilan pagi. Penampilannya sederhana, sama seperti anak muda pada umumnya. Jaket adalah hal yang utama, dipadukan dengan kaos putih dan celana panjang. Ian cukup simpel. Tak suka berlagak.

Buah tangan yang Ian bawa adalah cokelat dan mi ayam. Ya, perpaduan yang sangat kontras, terbilang jauh. Namun, keduanya adalah makanan favorit Zarah.

“Tante pikir kamu nggak akan ke sini nengokin Zarah.” Kania menyambut baik, dia langsung membawa Ian ke kamar Zarah.

“Maaf, Tante. Aku baru sempat, soalnya agak sibuk.” Senyum miris terpancar. Ian hanya berdalih untuk menutupi kebohongan. Seandainya Zayn bisa melupakan masa lalu, Ian sudah pasti bertamu setiap hari.

“Zarah udah mendingan, tapi Zayn belum bolehin dia ke sekolah.”

Ian spontan berhenti melangkah. “Hm ... Bang Zayn dimana, Tante? Dia di rumah?”

Kania membuka pintu kamar, menyuruh Ian untuk masuk terlebih dahulu. “Sebenarnya Zayn belum mau masuk kerja, tapi Tante yang maksa. Jangan heran, Zayn nggak mau kemana-mana kalau Zarah sakit, mau terus dijagain.”

Ian mengangguk. "Iya, Tante. Aku lihat-lihat Bang Zayn sayang banget sama Zarah."

"Dari kecil udah begitu." Kania duduk di tepi ranjang, mengelus rambut Zarah.

Zarah mengerjap perlahan, menatap dua orang di depannya. “Mama? Bang Ian?”

Kania berkata, "Ian datang mau jenguk kamu sayang."

Zarah mengendus beberapakali. “Abang bawa mi ayam, ya?”

Ian tersenyum. Mendekat. “Iya, Abang bawain kamu. Kamu suka, kan?”

“Suka, dong!” Zarah berucap semangat. “Ma, bisa tolong ambilin aku mangkuk?”

“Iya, sayang. Mama ambilin dulu, ya?”

Ian senang melihat Zarah bersemangat. Cinta yang bersemayam di hatinya bergetar, membawa aura positif yang menyenangkan.

“Za, kamu udah enakan, kan?” Ian berganti posisi, duduk di kasur. Cokelat yang dibawanya di simpan di meja.

“Kaki aku udah nggak terlalu sakit, Bang. Jahitan di lengan juga udah kering.” Zarah menunjuk pipi kirinya, goresan yang ada di sana sudah terlihat samar. “Ini juga udah baikan.”

“Kamu ditabrak kayaknya parah banget, ya?”

“Ya … gitu deh, Bang.”

“Sakit?”

“Yang namanya kecelakaan pasti sakit, Bang.”

Ian merenung sejenak. Bayangan Zayn tergambar jelas di benaknya. Ian sudah pernah melihat sendiri bagaimana tangis seorang Zayn saat Zarah terluka. Tak tanggung-tanggung! Seolah-olah dunianya sudah runtuh.

“Za, waktu kita masih kecil, kamu benci sama Abang, nggak?”

Zarah tergelak geli. “Kok jadi bahas itu, Bang?”

“Abang mau tahu aja, kan dulunya Abang jahil banget sama kamu.”

“Ehm … dikit. Soalnya Abang nakal, tiap hari jahilin aku. Gimana Bang Zayn nggak marah?”

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang