19. Akhir Sebuah Drama

572 61 10
                                    

Ayo kita baca sama-sama

***

Zayn lelah.

Lelah untuk terus berlagak dingin di depan Zarah. Omong kosong kalau jiwanya tidak menjerit kencang. Ada setumpuk rindu bersemayam dalam dirinya. Zayn ingin memeluk Zarah dan kembali memanjakannya.

Tengah malam Zayn mengendap ke kamar Zarah. Dia mengamati tangan kanan yang terdapat luka. Zayn mungkin terlihat pengecut, dia hanya bisa memperhatikan secara diam-diam.

Zayn dibuatnya frustasi.

“Dek….” Zayn mengecilkan suaranya agar tidak membangunkan Zarah. “Abang minta maaf. Abang nggak ada maksud mau nyakitin kamu.”

Sinar rembulan yang masuk melalui celah jendela jadi saksi. Hanya benda mati yang tahu bahwa saat ini Zayn merasa pilu. Dia berlutut di sisi ranjang, jemarinya sudah bertautan dengan jemari Zarah. 

“Abang sebenarnya sakit lihat kamu pergi sama Ian, Abang khawatir, Dek. Abang rasanya mau gila. Kenapa Abang harus ada perasaan sama kamu, sih? Dulunya nggak gini.” Zayn menutup mulutnya, menahan adanya isakan kecil. “Abang tulus sayang sama kamu, nggak ada maksud apa-apa. Kamu cewek nomor satunya Abang….”

Zarah sedikit gelisah di dalam tidurnya, tubuhnya yang miring kini jadi telentang. Keringat bermunculan di dahinya. Bibir itu bergerak pelan. Zayn mematung sejenak dan sebisa mungkin tak bersuara.

“Abang….” Zarah memanggil lembut. Dia mengigau. “Abang….”

Zayn mengalihkan pandangannya pada pintu yang terbuka—mengendap ke luar adalah ide yang terlintas di kepalanya saat ini. Zayn harus pergi sebelum Zarah menyadari keberadaannya.

“Abang….” Suara Zarah kini bergetar. Bibirnya melengkung. Kegelisahannya menciptakan tangis kecil. Entah apa yang sedang di alaminya di alam mimpi. “Jangan pergi….”

Ini mulai bahaya lagi untuk Zayn. Batas kesabarannya kian menipis.

“Aku rindu, Bang….”

Zayn mengulurkan tangan, menyeka air mata yang mengalir di ujung mata. Selimut yang menganggur di bawah kaki ditarik kembali sampai menutupi seluruh tubuh. Zayn tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang dilihatnya. Hati nurani yang berbicara, dan Zayn tidak setega itu.

“Abang di sini, Dek. Jangan takut.” Zayn sudah naik ke tempat tidur, bersender. Kakinya berselonjor.

Tenang. Zayn harus bersikap tenang agar tidak membangunkan Zarah. Elusan di kepala pasti membantu untuk lebih lelap.

When somebody loved me, everything was beautiful.” Zayn bersenandung. Dia teringat dengan masa kecil dulu. Lagu itu merupakan lagu favorit Zarah, jadi pengantar tidur. “Every hour spent together lives within my heart. And when she was sad I was there to dry her tears, and when she was happy so was I, When she loved me….

“Abang?”

Zayn hampir memekik. Dia tak memprediksi bahwa Zarah akan memanggil lagi. Memanggil dengan mata yang terbuka.

“Abang di sini?” Pertanyaan itu bernada senang. Zarah sigap memeluk lengan kekar itu. “Abang beneran di sini, kan? Aku nggak mimpi, kan?”

Untuk sementara Zayn membiarkan Zarah seperti itu, anggap saja sebagai penawar rasa sakit yang selama ini mengikatnya. Zayn juga butuh memulihkan hatinya.

Zarah duduk di atas pangkuan Zayn, menjatuhkan dirinya dalam pelukan. Sudah lama Zarah menginginkan kehangatan itu.

“Ternyata aku beneran nggak mimpi.”

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang