12. Pelengkap

501 58 4
                                    

Bertahan itu susah, tapi tetaplah bersamaku.
(From Author for you, my reader)

***

Zarah memukul kepalanya beberapa kali.

Setelah mengetahui apa yang terjadi, ia semakin prihatin. Kecil kemungkinan mereka—Zayn dan Ian—bisa berbaikan. Malah semuanya makin kacau.

Zarah cukup kasihan melihat Ian kemarin, wajahnya tampak sedih dan kesal secara bersamaan. Tak bisa terelak, Zarah menginginkan perdamaian.

"Nih, obat sakit kepala." Cia meletakkan beberapa camilan di meja. Wajahnya menggambarkan kebahagiaan karena Zarah sudah bisa kembali menjalankan aktifitas di sekolah.

Kerupuk asin jadi pilihan. Zarah makan sembari terus berpikir. Masa SMA tak didominan oleh tugas-tugas yang merepotkan. Sama sekali tidak! Yang ada Zarah malah kepikiran mengenai perselisihan zaman dulu yang masih berlanjut sampai sekarang. Entah kapan semuanya berakhir.

"Kamu mikir apa, Za? Mikirin soal pelaku surat cinta itu?"

Zarah tertegun. Hampir saja dia melupakan hal itu. "Oh iya, waktu aku sakit, surat cintanya gimana? Masih ada?"

Cia menunjuk laci Zarah dengan dagunya. "Coba kamu lihat ke laci."

Laci berbentuk persegi itu kosong. Bersih. Jika biasanya akan ada surat berwarna yang berisi kata-kata romantis, kali ini hanya ada buku-buku pelajaran. Zarah menatap lekat, meminta penjelasan.

"Fahri." Cia berkata spontan. Mulutnya bergerak cepat untuk menghaluskan makanan. Botol minum milik Zarah dirampas begitu saja, meneguknya tiga kali. "Aku harus minum dulu, kan? Kan nggak seru kalau aku mati keselek. Nanti Zayn nggak punya pasangan lagi."

Zarah menarik napas panjang.

"Jadi gini, Za. Cowok yang kita kejar kemarin namanya Fahri." Cia terdiam beberapa saat, bersendawa.

"Terus?"

"Nah, selama kamu dirawat di rumah, aku sebagai sahabat sejati bantuin kamu. Aku datangin si Fahri dan tanya-tanya sama dia. Kamu mau tahu apa yang dia bilang?"

Zarah mengangguk cepat.

"Katanya...." Cia membuka bungkus camilan lagi, memakannya pelan-pelan. "Katanya ... dia cuma disuruh sama seseorang."

"Terus gimana?"

"Gitu aja."

Zarah kecewa berat. Informasi yang diberikan Cia malah membebani pikiran.

"Kamu nggak nanya lagi sama dia?"

"Aku tanya lagi sama dia, dan katanya dia nggak bisa beberin rahasia si pelaku yang sebenarnya. Fahri dibayar buat tutup mulut, dan aku nggak punya uang yang banyak biar bisa nguak kebenarannya. Terus ... Fahri juga orangnya konsisten banget. Dipaksa satu juta kalipun dia nggak mau ngaku. Dia ciri-ciri orang yang layak jadi bendahara."

Penjelasan Cia memaksa otak untuk berpikir lagi. Hari pertama masuk sekolah Zarah malah disuguhi teka-teki menyebalkan. Dia harus mencari sendiri siapa pelaku tersebut. Tak mungkin mewawancarai Fahri yang katanya memiliki keteguhan di atas rata-rata.

Jam menunjukkan pukul dua siang saat bel pulang berbunyi. Cia membantu Zarah berjalan. Perlakuannya murni atas dasar persahabatan, bukan karena ingin cari muka.

Di depan gerbang mobil berwarna hitam sudah terparkir. Zarah mengembangkan senyum ketika menangkap sosok tersayangnya.

"Abang!"

Cia terkejut, dalam sekejap napasnya tak beraturan. Kepalanya menunduk untuk menghindari adanya kehaluan.

Zayn mengamati Cia lekat, sedikit membungkuk untuk menatap langsung wajahnya. "Makasih."

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang