Sampai jumpa lagi
***
“Yang kuat, dong. Kalau kamu lemah gini, gimana caranya kamu jagain Zarah?”
Zayn terus mengoceh panjang lebar. Dia memberikan pelatihan yang cukup keras sebagai bentuk pendaftaran bahwa Ian layak untuk adik tercinta. Dimulai dari lari mengelilingi komplek, push up, skuat jump, dan lainnya. Zayn harus membentuk Ian sebagai cowok kuat, yang bisa membawa barang-barang berat.
“Bang, aku capek.” Ian duduk di tanah, dadanya naik turun karena lelah. Push up memberi efek yang sungguh luar biasa, lelahnya lebih terasa.
Zayn menyesap kopi buatan Zarah, melirik. “Ulang sepuluh kali lagi, setelah itu kamu bisa istirahat.”
Ian menggerutu, namun tak bisa menolak juga. Jangan sampai Zayn murka lagi dan mencari cowok lain untuk dijadikan adik ipar.
“Sepuluh kali aja ya, Bang. Ini yang terakhir.”
Zayn mengangguk. Lagipula latihan itu sudah sampai ke puncak tertinggi.
“Satu, dua, tiga, empat, lima….” Ian menguatkan tangannya, berat tubuhnya entah mengapa kian bertambah. Ah, mungkin karena tenaga yang sudah terkuras habis.
“Tinggal lima kali lagi, tuh.” Zayn menahan tawa melihat Ian. Cowok itu berusaha sangat keras, jangan tanya lagi bagaimana keringat membasahi tubuhnya.
Zarah datang membawa kue, diliriknya Ian sebentar, setelah itu menatap Zayn. “Abang jangan terlalu keras sama Bang Ian, kasihan….”
“Nggak apa-apa, Dek. Ian itu cowok, harus kuat, nggak boleh lembek. Apalagi orang yang mau dia jagain itu kamu. Abang mana mau ngasih kamu ke orang yang lemah. Nggak rela!”
“Tapi Bang Ian kelihatan capek banget.” Zarah merasa iba. “Udahin aja, Bang.”
Zayn mengangguk malas. Dia memanggil Ian untuk beristirahat sejenak. Tanpa diperintah dua kali Ian langsung menghampiri, meneguk habis minuman yang ada di meja.
“Capek banget.” Ian mengeluh. Matanya tertutup rapat.
“Baru gitu aja udah capek,” celetuk Zayn. Tangannya menarik Zarah lebih dekat dengannya, membawanya duduk di pangkuan. Zayn suka sekali bermesraan di depan Ian untuk membuatnya cemburu, sekalian untuk mengetes.
“Aku beneran capek, Bang. Jantung aku dug-dugnya keras banget.” Ian meraih segelas air lagi, meminumnya setengah.
“Besok kamu kayak gini lagi.”
Ian menoleh cepat. “Tiap hari, Bang? Emang bisa? Abang kan, harus kerja. Nggak mungkin mau ngawasin aku terus.”
“Nanti aku ngirim orang buat ngawasin kamu.”
“Abang itu bener-bener mau buat aku mati, ya?”
Zarah terkikik saja, tidak bisa terlalu ikut campur. Apa yang dilakukan Zayn semata-mata untuknya.
“Kalau kamu nggak sanggup bilang aja, aku bisa nyari orang lain yang lebih layak, yang nggak gampang ngeluh.
Ian gelagapan, tersenyum canggung. “Maksud aku nggak gitu, Bang. Aku sanggup lahir batin, kok.”
“Makanya jangan ngeluh!”
Ian bungkam. Lebih baik diam daripada cari mati.
Ketiganya menikmati sore hari di teras. Ian duduk sendiri sedangkan Zayn memangku Zarah. Ian mulai terbiasa dengan kedekatan kakak-beradik itu, meski kadang ekstrem. Ian harus sabar ketika melihat keduanya saling memberi kecupan di pipi, berpelukan erat, memberi perhatian yang lebih. Ian pokoknya harus mempertebal hatinya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Go [✓]
Teen FictionBagaimana caranya melupakan? Apakah cinta semenyakitkan ini? Kenapa cinta bagiku serumit ini? Apanya yang salah? Aku hadir dalam hidupmu bukan untuk menyakiti, aku ingin membuatmu bahagia. Tapi aku tak bisa untuk meneruskan, aku tak ingin egois. ...