Sudahkan kalian tersenyum hari ini? Atau tertawa?
(From Author for you, my reader)***
Kedatangan Ian disambut hangat.
Tak perlu bertanya maksud dan tujuannya bertandang. Tentu saja untuk bertemu Zarah.Sore hari adalah waktu yang paling tepat untuk melancarkan aksi—Zayn tidak di rumah. Ian harus membujuk Zarah bagaimanapun caranya, demi menyelamatkan hatinya yang terus meronta.
“Pasti mau ketemu Zarah, kan?” ucap Kania sedikit menggoda. Wanita cantik itu sangat mendukung keduanya. Ian sudah mapan, tampan dan juga sopan. Berbeda ketika masih kecil, dulu Ian adalah seorang pemberontak!
“Iya, Tante. Soalnya dari kemarin aku sibuk dan nggak bisa ketemu.”
“Kalau gitu Tante panggil dia dulu, tunggu bentar, ya.”
Ian menutup mata, menggerakkan bibir layaknya membaca mantra. Ia sedang meyakinkan diri bahwa Zarah tidak akan menolak ajakannya. Tahu sendiri, kan? Bagaimana sikap cewek itu? Segalanya harus izin dari Zayn.
Dia berniat mengajak Zarah ke restoran, memperlihatkan kerja keras yang selama ini dilakukannya. Selain itu, ia ingin makan bersama.
Zarah muncul memakai kaos oblong, celana pendek selutut. Cepolan rambutnya berantakan, agak miring ke kiri. Tatapan matanya sayu, yang menandakan ia baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.
“Eh, Bang Ian.” Zarah mengucek mata. “Baru datang, Bang?”
Ian berdecak pelan. Tak salah Zayn begitu mengekang adiknya. Zarah bisa memenjarakan oksigen dan membuat orang lain sekarat. Hanya dengan penampilan sederhana seperti itu mampu membuat mata terpesona.
“Abang?” Zarah melambaikan tangannya berkali-kali. “Kok Abang ngelamun?”
“Nggak kenapa-napa.” Ian memalingkan pandangan ke arah lain. Jantungnya terlalu lemah, terlalu payah.
Untuk sesaat keduanya tak angkat bicara. Zarah masih mengumpulkan jiwa raga. Tidurnya tadi sangat nyenyak, agak sebal karena Kania membangunkan dengan cara yang kurang manusiawi. Tubuhnya diguncang beberapa kali dengan hentakan keras.
“Zarah, Abang ke sini sebenarnya mau ajak kamu ke restoran.”
“Restoran Abang?”
“Iya, udah lama kamu nggak main ke sana lagi.”
Ian mengamati penuh bagaimana Zarah akan bereaksi. Hatinya cemas, takut mendengar kalimat penolakan. Kemarin saja sudah cukup menyakitkan. Dia juga mau dekat dengan Zarah tanpa harus diintrogasi terlebih dahulu.
“Kamu mau, kan?” tanya Ian pelan.
Senyum terbit di wajah Zarah. Sesak di dada Ian mulai lepas landas. Senyum manis itu memberinya sedikit harapan.
“Aku mau, kok, Bang. Aku kangen sama Dendra, Daniel, Dian, sama Dea juga.” Zarah makin melebarkan senyumnya. Terakhir kali dia bertemu dengan keempat orang itu adalah dua bulan yang lalu.
“Kamu beneran mau?” Ian meyakinkan sekali lagi.
“Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Go [✓]
Fiksi RemajaBagaimana caranya melupakan? Apakah cinta semenyakitkan ini? Kenapa cinta bagiku serumit ini? Apanya yang salah? Aku hadir dalam hidupmu bukan untuk menyakiti, aku ingin membuatmu bahagia. Tapi aku tak bisa untuk meneruskan, aku tak ingin egois. ...