15. Tears

540 66 2
                                    

Aku mengupas bawang dan aku menangis. Kalian gimana?
(From Author for you, my reader)

***

Zayn hanya punya satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menjaga Zarah, melindunginya. Namun, kasih sayang yang tercipta malah membentuk keresahan. Hal-hal tak terduga datang bagai mimpi buruk yang tak kunjung usai. Terjebak di dalam sana, diliputi kegelapan.

Zayn tidak kembali ke kamar, ia duduk di sofa sambil berpikir keras. Apakah selama ini tak menyadarinya? Sikap dan segala bentuk perhatian, apakah hanya sebuah sandiwara? Bersembunyi di balik kata saudara. Apakah dia semenjijikkan itu?

Jam menunjukkan pukul 5 pagi, Zayn tidak tidur sama sekali. Bayangan Zarah menghantui, bagaimana dia tersenyum dan tertawa. Kemudian, terbayang bagaimana ia menangis dan mengadu.

"Zarahhh...!" Zayn meremas rambut sekuat-kuatnya, marah besar pada diri sendiri.

“Abang….”

Zayn menoleh cepat, kedua matanya memerah.

"Abang ngapain di sini?" Zarah menghampiri sambil mengucek mata. Dia kebingungan karena tak mendapati Zayn di kamar.

Zayn sebisa mungkin terlihat normal. Meski suaranya sedikit bergetar. "Hm ... tadi orang kantor nelpon, ada yang mau ditanyain."

Zarah menguap. “Abang kenapa nggak bangunin aku?”

“Kamu nyenyak banget tidurnya, Abang nggak tega bangunin.”

Zarah manggut-manggut. “Mama sama papa belum bangun?”

Zayn tidak menjawab.

“Abang?” Zarah mengibaskan tangan. “Kok Abang ngelamun?”

“Nggak apa-apa.”

Zarah mengembuskan napas. Zayn mengalihkan pandangan. Rekaman kejadian semalam berputar di otaknya, seolah-olah memang sengaja untuk menyakiti lebih dalam.

“Abang kok, kelihatan aneh hari ini?” Zarah akhirnya menyadari. Mata merah disertai keresahan terpampang jelas di depannya. Saat ingin bertanya lebih lanjut, Zayn pergi begitu saja. Masuk ke kamar dan tak lupa untuk menguncinya.

Zayn mengutuk diri sendiri karena tak berdaya. Untuk sementara ini dia tidak bisa bertemu dengan Zarah. Setiap kali berpandangan dengan adiknya, ia merasa terpukul.

Tingkah laku Zayn akan mengundang lebih banyak pertanyaan, dan Zarah tak mungkin diam begitu saja.

“Abang kenapa?” Zarah menekan gagang pintu, bermaksud ingin membukanya. “Bang, kenapa pintunya dikunci?”

“Dek, Abang mau sendiri dulu.”

“Lho? Kenapa?”

“Abang pengen aja.”

Zarah tidak puas mendengar itu, agak kesal karena diacuhkan. “Abang lagi punya masalah apa? Cerita sama aku, Bang. Aku mau denger.”

Hening.

Zarah mengetuk pintu terus-menerus. Suaranya makin terdengar keras.

“Abang buka pintunya, dong. Aku mau tahu Abang kenapa.”

Zayn di dalam sana memasang earphone untuk mengurangi kebisingan. Selain karena tak mau terganggu, dia juga tak mau kalah lagi. Bisa saja hatinya luluh mendengar Zarah memohon.

“Abang….” Zarah masih di sana, jemarinya sudah memerah karena terus mengetuk. Hari ini Zarah akan bersikap keras kepala. “Abang buka pintunya kalau nggak mau lihat aku pergi sekolah nggak sarapan.”

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang