30 Juni

17 3 0
                                    

Saat masih kanak-kanak, aku sering menulis di diari. Warnanya pink bergambar kuda poni dan bisa dikunci. Suatu hari, aku tak sengaja membawanya ke sekolah. Temanku yang bendel tahu dan merebutnya dariku. Ia membaca isinya keras-keras. Mukaku merah sekali saat itu. Teman-teman menertawaiku. Tapi, Axel tidak. Ia menyelamatkan diariku.

Kami tidak saling kenal secara personal kala itu. Axel merupakan anak baru yang berada kelas sebelah. Aku sering melihat Axel tertawa dan bermain di koridor sekolah. Ia bisa tertawa dari satu kelompok ke kelompok lain dengan topik yang begitu beragam.

Saat itulah, aku menulis di diari Axel sok cakep dan sok gaul. Anehnya, saat temanku yang jail itu membacakannya, Axel sama sekali tidak marah.

"Kamu harusnya tidak membawa diari ke sekolah," katanya sambil mengembalikan diariku dan tersenyum penuh pengertian.

Aku yang sedang menunduk hanya mengangguk malu. Lalu, mengambil diariku dari tangannya. Lantas, Axel mengulurkan tangannya di hidungku persis.

"Aku Axel. Namamu siapa?"

Aku mendongak. Di pipinya ada noda tipe-x dan rambutnya jabrik. Seragam ia keluar dari celana merahnya. Axel tersenyum. Matanya juga bersinar cerah.

"Pevita," ucapku sambil menjabat tangannya.

"Terima kasih udah memerhatikanku. Iya, aku emang sok cakep dan sok gaul, Pev," katanya sambil tertawa.

Sejak itu, aku tidak lagi menulis diari. Karena saking malunya, aku membakar seluruh diari dari yang sudah penuh sampai yang setengah terisi. Agak menyesal kalau dipikirkan secara mendalam.

Namun, pertemuanku dengan Axel tidak berhenti sampai di sana. Setelah kelulusan SD, kami bukannya berpisah malah satu SMP. Sekelas dan sebangku pula. Keluarga Axel juga pindah ke komplek perumahanku. Tidak butuh waktu lama untuk kami akrab dan sedekat arteri. Terus berlanjut sampai sekarang SMA.

Ketika liburan kenaikan kelas, aku mulai merasakan gejala aneh. Ini berawal saat aku tersandung selang dan menimpa tubuh Axel. Seketika segalanya tak lagi sama.

1. Aku merasa salah tingkah

2. Dadaku berdebar saat Axel mengacak rambutku. Padahal dari SMP ia memang begitu.

3. Jantungku beriak ketika mendengar Axel tertawa. Padahal seingatku tawanya itu sumbang.

4. Mukaku terasa panas saat Axel terlalu dekat padaku. Biasanya ia duduk di sampingku persis pun tidak masalah.

Dari semua hal yang terjadi itu, aku merasa khawatir. Itu sama seperti peribahasa; menanti ara tak bergetah. Mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Axel saja tampak biasa saja.

Belakangan ini, tanganku otomatis menyisir rambut dengan jemari agar tidak acak-acakan. Kadang aku bercermin untuk memastikan kalau tidak ada cabe yang terselip di gigi. Terkadang aku juga memainkan rambut saat berbicara dengan Axel. Jelas, aku tidak bisa biasa-biasa saja di dekatnya.

Karena ketakutanku itu, sekarang aku membeli jurnal berwarna biru metalik. Bukan diari yang ada gembok dan kuncinya lagi. Itu sih buat anak-anak. Tujuanku membeli jurnal ini untuk meluapkan seluruh perasaan aneh. Menuliskannya membuat suasana hatiku lebih baik, itu sudah terbukti sejak aku kanak-kanak. Bahkan jika harus menuliskan percakapan, setumpuk peribahasa dan hal-hal detail lain, aku tak masalah.

Semoga saja gejala penyakit aneh ini segera sembuh. Karena, aku sedang mencoba bersikap biasa saja. Entah kenapa, aku memiliki firasat; tidak pernah berakhir baik perasaan yang tumbuh dalam persahabatan.


Clouds Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang