[Malam, Bang. Belum tidur?]
Satu pesan terkirim pada Bara. Selagi menunggu balasan, kulanjutkan mengunyah oat crackers, cemilian wajib selama diet. Aku tak yakin pesan singkat yang terkesan basa-basi itu akan cepat ditanggapi. Namun, justru sikapnya yang seperti gunung es itulah membuatku semakin penasaran.
Kuusap layar ponsel, membuka aplikasi Facebook dan melihat-lihat status yang lewat di beranda. Tak ada yang menarik, sampai mataku menangkap tulisan terbarunya. Lagi-lagi, Bara mengunggah tulisan yang membuat kaum hawa menjerit-jerit di kolom komentar.
[Bang?]
Merasa tak digubris, aku mengirim satu chat lagi. Namun, tak ada tanda-tanda balasan darinya. Aku mengurucutkan bibir. Kesal.
[Abwaaang!] Pesan ketiga terkirim.
Cih. Sok jual mahal. Sok cool, tapi tak apa. Aku suka tantangan.
Dia, Bara. Seorang penulis lelaki yang cukup terkenal. Awalnya, aku hanya sekadar mengagumi karyanya dalam sebuah grup literasi. Sekadar memberikan like, react love, atau tertawa. Namun, entah sejak kapan, aku mulai tertarik dengan karakternya.
Dingin. Kadang juga lucu saat dia menanggapi komentar readers yang kebanyakan kaum hawa. Termasuk barisan ibu-ibu yang bukan lagi berstatus single, alias bersuami. Aku iseng-iseng ikut nimbrung di antara komentar bucin mereka. And then, dibalas!
Seketika aku meloncat di atas ranjang. Memutar lagu romantis dari music player. Menjadikan remote tv sebagai mic. Bibir bersiap mengikuti lirik yang bersenandung di seantero kamar. Sesaat sebelum aku terpelanting ke lantai karena terlalu kegirangan.
Ting!
Satu pesan masuk membuyarkan lamunan. Segera kuintip isinya. Bara.
[Ya.]
What? Setelah sekian lama aku menunggu balasan darinya, Bara hanya menjawab dengan kata 'ya'. Apa tak ada kata lain? Beribu-ribu, bahkan berjuta-juta diksi yang telah dia tulis menjadi sebuah paragraf indah. Rasanya terlalu biasa jika dia membalas rentetan pesanku hanya dengan kata 'ya'.
Inhale ... exhale ... sabar, Widi. Ini ujian.
Wuzzz!
Aku mengibaskan rambut hitam sebahu yang terurai. Rupanya, dia belum sadar akan pesonaku. Dia tak tahu, banyak laki-laki di luar sana yang mengantre mendekati. Untuk sekadar bermain-main, atau hanya menginginkanku karena terjerat kecantikkanku.
Dari mulai sesama model, atau kalangan orang biasa yang berada. Tak sedikit pun untuk tertarik. Alasannya simpel, terlalu biasa. Aku tak menemukan kelebihan mereka saat mendekatiku. Aku pun malas memberi mereka harapan palsu.
[Abang udah makan?]
Pesan terkirim. Basa-basi lagi memang. Semoga dengan begitu, dia akan merasa diperhatikan. Bukankah laki-laki akan merasa senang jika ada yang selau memperhatikannya? Aku sedang berusaha saat ini.
Terserah jika Bara menganggap aku agresif. Memang kenyataannya hatiku selalu menggebu saat memikirkan tentangnya. Terlebih, aku selalu menyukai aksaranya saat merangkai sebuah kata menjadi susunan kalimat yang sarat makna. Kalimat yang menjadi barisan paragraf yang puitis.
Bahkan, aku sengaja memasang foto profil dengan wajah asli. Tentunya, foto yang menurutku paling cantik dan seksi. Berpose manja dan memakai baju minim membentuk lekuk tubuh. Beruntung, aku freelance sebagai model. Tak sulit untukku menarik perhatiannya.
Karena kebanyakan, mereka yang bergabung di grup literasi itu menggunakan akun fake. Memasang foto animasi, artis idola, atau lainnya. Menurutku, mereka hanya mencari perhatian, demi like dan komentar yang bejibun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper Queen [Terbit Buku]
ChickLitAku tersenyum bersamaan dengan air mata yang mulai menetes. Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku segera menghambur dalam pelukannya. Sedu sedan tercurah di atas bahunya. Bahu yang akan menjadi milikku. Aku menyesap aroma tubuhnya dalam-dalam. Ar...