11. Ganjennnya WIDI

65 10 5
                                    

Ratusan titik air yang berasal dari mulut berhamburan memenuhi wajah lelaki di hadapanku. Dia terdiam, merasakan basah di sekitar wajah. Sesaat, dia mengusap wajahnya dengan lengan kemeja.

Hatchi!

Bersin yang kedua. Kali ini aku menutupnya dengan kedua tangan. Rasa gatal seketika menjalar di area wajah. Perlahan, aku mulai mengusap-ngusap wajah dengan lembut.

"Lu nggak apa-apa?" tanyanya hati-hati seraya mendekat.

"Jangan deket-deket!" Aku merentangkan tangan memberi jarak seraya beringsut menjauh. Berpindah ke kursi yang masih kosong di sebelah. Lalu menunjuk bunga mawar yang masih digenggamnya. "Itu! Jauhin bunga itu dari gue!" lanjutku memerintah sambil terus mengusap wajah yang memerah.

Lelaki itu menatapku dan bunga mawar bergantian. Menit berikutnya--seakan tersadar atas apa yang telah terjadi--dia segera melempar asal bunga mawar itu ke sembarang arah.

Kemudian, dia duduk di sebelahku. Sedangkan aku, sibuk menggaruk-garuk pelan area wajah yang mulai perih dan memanas.

"Lu ...." Ucapannya terpotong saat aku menepis tangannya yang hendak menyentuh wajahku.

"Lu alergi bunga? Sorry, gue nggak tau," ucapnya memelas. "Kenalin, gue Danis," lanjutnya seraya mengulurkan tangan.

Aku hanya melirik uluran tangannya tanpa berniat menjabatnya. Lebih memilih mengabaikan dengan bercermin yang kuambil dari dalam tas. Memperhatikan wajah di pantulannya.

Memerah, dan hampir timbul bintik-bintiknya. Ya, aku seorang model berparas cantik yang alergi terhadap bunga. Terlihat tak sinkron. Tapi, itulah kenyataannya.

Entah sejak kapan tepatnya, aku alergi terhadap serbuk sari. Pernah suatu hari, aku mengalami dampak terburuk. Kulit perih dan panas. Badan tak nyaman. Telinga, hidung, dan tenggorokan terasa gatal. Kepala pusing. Hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Penyebabnya adalah Marsya, seseorang yang membenciku ketika sekolah menengah atas, hingga saat ini.

Perempuan itu sengaja menghujankan banyak bunga aster dari lantai dua gedung sekolah, saat aku berdiri di bawahnya di pinggir lapangan. Seketika, reaksi parah langsung terjadi. Ketika ditanya, perempuan itu mengelak dengan alasan ingin memberiku kejutan. Pada pihak sekolah, dia mengaku sebagai sahabatku. Hei! Sahabat mana yang tak tahu sesuatu yang membahayakan sahabatnya sendiri? Konyol.

Aku tahu perempuan itu selalu iri denganku. Karena kami selalu berebut menjadi juara kelas. Juga, sama-sama memiliki minat yang besar terhadap fashion. Hingga kuliah di gedung dan jurusan yang sama. Sayangnya, aku dengannya satu kelas dari SMA hingga sekarang kuliah. Menjengkelkan!

Terakhir kudengar, dia tengah berusaha mengikuti seleksi untuk menjadi sebuah model di salah satu agensi. Kabar baiknya, aku selalu lebih unggul. Menyenangkan, bukan?

Lalu, di saat aku tengah bersusah payah untuk menjauhi benda indah--namun mematikan untukku--setelah beberapa tahun terhindar darinya. Kini, aku harus mengalaminya lagi. Penyebabnya lelaki yang sedang duduk di sampingku. Danis, namanya.

Laki-laki itu ... yang bila dilihat dari penampilannya, tak ada satu pun yang patut diacungkan jempol. Sama sekali tak ada yang menarik perhatianku. Selain kamera yang menggantung di lehernya. Mungkin dia seorang mahasiswa fotografi.

"Lu Widi Ayu, 'kan?" tanyanya lagi.

"Hm," gumamku sambil mengibaskan tangan di depan wajah.

"Wid, jadian kuy!"

"Hah?" Aku tersentak tak percaya.

Fix, laki-laki di hadapanku ... sakit jiwa! Selain penampilannya yang absurd, kelakuannya juga. Setelah dia membuat alergiku kambuh, dengan gampangnya menyatakan perasaan. What the hell?

Baper Queen [Terbit Buku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang