Berkali-kali kubuka pesan dari seseakun atas nama Widi Ayu. Merasa mulai tak nyaman dengan kehadiran chat yang bertubi-tubi darinya. Belum juga sempat kubalas yang dulu, muncul lagi yang baru.
Kesal, kulemparkan ponsel di atas pembaringan. Lelah rasanya seperti ini, memikirkan proposal skripsi, sikap Rini, juga cerita yang semuanya terbengkalai.
Ponselku kembali berbunyi. Dengan cepat kuraih benda itu. Pikirku mungkin Rini yang mengirim pesan. Semoga saja dia sudah sedikit melunak setelah dari kemarin tak membalas pesanku.
[Bang, dah punya pacar?]
Chat dari dia lagi. Si trouble-maker!
Ini terlalu nekat. Kutelusuri profilnya. Album yang dipenuhi dengan berbagai foto seksi, menampilkan body language yang sulit kumengerti. Punggung tangan bertopang pada dagu dengan senyuman yang mengembang pada kamera, bibir monyong dengan kedua tangan menarik rambut yang terurai, lalu ... lidah menjulur dengan mata yang tertutup sebelah seolah tak sadar kamera.
Aku bergidik disuguhi oleh pemandangan yang begitu menggelitik. Ini memang seni, tapi ... aku tak tertarik. Nilai estetika yang menurutku berlebihan.
Seharusnya sejak dua hari yang lalu aku meng-posting tulisan di grup. Tapi karena berbagai masalah yang tengah kuhadapi, akhirnya semua jadi kacau.
Pembaca pun mulai berkurang. Like dan komen yang biasanya begitu menghujani, kini hanya bisa dihitung jari.
Haruskah aku mem-blokir akun si Widi itu?
Kehadirannya sangat mengganggu. Bahkan karena kelakuannya, hubunganku dengan Rini semakin memburuk.
Sikap Widi bukan lagi mengidolakan, tapi lebih kepada pendekatan. Tak jarang, dalam sehari dia bisa mengganti fotonya dua atau tiga kali.
Liat saja nanti, kalau dia masih saja berani bertingkah dan merayuku, option terakhir adalah pemblokiran.
***
Kulajukan roda empat menuju ke rumah Rini. Aku sudah tak tahan dengan sikapnya. Tidak biasanya ia berlama-lama merajuk seperti ini.
Ah, anak itu bukannya semakin dewasa, malah semakin kekanakan. Harusnya ia mengerti dengan posisiku sebagai penulis yang digandrungi oleh kaum hawa dan remaja.
Sebagai kekasih, harusnya dia memberiku dukungan penuh, karena separuh impianku telah ada di depan mata. Tapi sebaliknya, ia malah menjauh.
"Assalamu'alaikum," ucapku beberapa kali setelah sampai di depan pintu rumahnya.
Tak ada sahutan. Hanya cicitan burung-burung peliharaan papanya yang saling sahut menyahut di dalam sangkar yang menggantung di teras samping.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu melalui kaca jendela, sepi. Ruangan terlihat lengang tanpa seorang pun di sana. Lalu ....
Pintu akhirnya terbuka. Sosok wanita paruh baya---namun masih terlihat cantik--- menyambutku dengan ramah. Mamanya Rini.
"Eh, Bara. Masuk, yuk!" ajaknya mempersilakanku untuk duduk.
"Rini ada, Tan?" tanyaku masih celingak-celinguk, berharap si cengeng berwajah imut itu muncul dari kamarnya.
Padahal biasanya Rini tak pernah melewatkan jika aku datang bertamu. Selalu ia yang membukakan pintu. Menyambutku dengan senyum manisnya, lalu sibuk menjamuku dengan minuman buatannya.
"Ada di kamar. Ayo masuk dulu. Nanti tante panggilkan."
"Iya, Tan."
Aku menghempaskan tubuh di kursi dekat pintu. Masih dengan perasaan dilema. Jika Rini benar-benar tak keluar menemuiku, mungkin memang saatnya kami saling menjaga jarak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper Queen [Terbit Buku]
ChickLitAku tersenyum bersamaan dengan air mata yang mulai menetes. Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku segera menghambur dalam pelukannya. Sedu sedan tercurah di atas bahunya. Bahu yang akan menjadi milikku. Aku menyesap aroma tubuhnya dalam-dalam. Ar...