19. Hati WIDI yang Hancur

69 11 0
                                    

Setelah malam itu, kami tak pernah bertemu--aku dan Bara. Berulang kali menghubunginya, tak ada jawaban. Pernah suatu malam, dia membalas pesanku. Sibuk, katanya.

Entahlah.

Dia terlihat sedang menjaga jarak. Aku seperti tak berarti. Baru saja merasakan indahnya dekat dengan seseorang yang sejak lama kupuja, kini harus menerima kenyataan. Bahwa, aku kembali terhempas ke dasar bumi setelah melambung tinggi ke angkasa.

Saat tiba-tiba dia menjauh, dari situlah aku tersadar. Diri ini tak lebih hanya sedang dipermainkan. Apapun alasannya, aku yakin dia tak pernah benar-benar tulus.

Ah, Bara ....

Menyedihkan.

***

Aku terlambat sampai di studio. Napasku sedikit terengah, mengejar waktu. Aku berlari dari pelataran parkir, hingga lantai dua. Gara-gara terlalu lama merutuki kebodohan. Tentunya, juga karena macet sialan tadi.

Sesampainya di sana, Bram tengah menatapku sambil berkacak pinggang. Raut wajahnya terlihat kesal.

"Tumben-tumbenan lu telat?" tanya Bram sinis.

Aku menekuk tubuh, tangan bertumpu di atas lutut. Mengatur napas yang masih memburu. Sesekali menyelipkan rambut ke belakang telinga, yang menutupi wajah.

"Sorry. Macet banget tadi," ucapku setelah dirasa napas mulai stabil.

Memang, aku tak pernah seterlambat ini. Biasanya selalu tepat waktu. Apapun alasannya, aku berusaha untuk disiplin terhadap waktu.

"Lu cepet ganti baju, make up juga. Foto lu udah ditungguin sama mereka buat memastikan jadi kontrak atau nggak."

"Oke," ucapku cepat.

Beberapa menit kemudian, aku sudah terlihat sempurna dalam pantulan cermin. Jika dulu selalu ada alasan untuk menyombongkan diri, tapi sekarang kenyataan berbanding terbalik.

Tak semua laki-laki terpukau atas kesempurnaan fisik. Termasuk Bara. Dan aku salah mengartikan itu semua.

"Udah siap?" tanya Bram.

Dia tiba-tiba berdiri di belakangku. Aku menatap refleksinya dalam cermin. Dia selalu seperti ini, memastikan kesiapan modelnya. Demi sebuah objek yang sempurna.

Aku mengangguk.

Menit-menit berikutnya, aku berpose di depan lensa. Gian yang memotret, namun masih didampingi Bram. Sebenarnya malas, tak ada gairah sama sekali.

"Oke, cukup," ucap Bram setengah jam kemudian.

Aku bergegas duduk di sofa di sudut ruangan. Kembali mengenakan sweter, karena dinginnya ruangan ber-AC ini. Kemudian, meraih ponsel, dan mulai me-scroll aplikasi Facebook.

Tak kutemukan postingan terbaru dari Bara. Dia juga belum update status sejak tiga hari yang lalu. Ada apa dengannya?

Aku beralih menoleh pada Gian yang memberikan kamera pada Bram. Dia mulai memperhatikan hasil jepretan Gian. Sesekali, dahi Bram tampak berkerut. Aneh. Ini kali pertama aku melihat ekspresinya seperti itu. Biasanya dia selalu tersenyum puas.

"Wid ...," gumam Bram.

Aku menoleh. Perasaanku mendadak tak karuan. "Gimana?" tanyaku.

Bram mendekat ke arahku, dan ikut duduk di sofa. Lalu mengangkat bahu.

"Gue ragu," jawabnya cepat.

Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya. Kuakui, kerjaku barusan tak semaksimal biasanya

"Gue edit dulu. Semoga mereka puas," ucapnya sambil berlalu.

Gantian Gian yang duduk di sebelahku. Aku tak mengindahkannya, namun terlihat jelas bahwa dia sedang menatapku.

Baper Queen [Terbit Buku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang