17. BARA yang Khilaf

78 10 0
                                    

Setelah melewati ratusan hari dengan Rini, ini kali pertama aku keluar rumah menggandeng seorang gadis selain dia.

Selama ini ... jalan-jalan, nonton, makan, ataupun di kampus, separuh waktuku memang dihabiskan hanya dengannya. Bahkan baginya, itu belum cukup karena merasa mulai tersisihkan setelah akhir-akhir ini aku lebih fokus pada hobi menulis.

Apalagi, setelah ia menemukan beberapa chat dari pembaca yang menurutnya tak wajar, sikap posesif dan baper-nya semakin menjadi.

Sebagai seorang lelaki, aku merasa mulai jenuh dan merindukan kebebasan. Tidak melulu terkungkung oleh aturan yang tak perlu untuk diperbesar-besarkan.

Berhari-hari setelah kejadian di kampus saat aku melihatnya dengan laki-laki itu---si berandal---yang kuyakin gadis mana pun akan lebih respek padaku dibanding dirinya.

Jadi seperti itu laki-laki idamannya?

Seperti tersentil, aku mencoba memberi ruang pada dirinya untuk menemukan sosok yang berbeda dari pribadiku. Agar ia tahu pada siapa semestinya hatinya berlabuh.

Terkadang, kita memang perlu untuk menjaga jarak, sekadar mengukur tingkat perasaan jika tak saling berkabar. Entah pada akhirnya semakin menjauh, atau ... merindu.

***

"Udah siap?" tanyaku lembut pada seorang gadis yang sedang berdiri di hadapanku saat ini.

"Udah. Yuk!"

Penampilan yang modis dan wajah yang begitu memesona, tak ayal membuat sorot mataku enggan untuk berkedip. Hingga sesaat membuatku lupa pada kekasihku.

Kami berjalan beriringan memasuki sebuah studio, tempat dia pemotretan malam ini.

"Kamu tunggu di sini, ya. Aku ganti baju dulu," ucapnya setelah mengajakku duduk pada sebuah sofa di sudut ruangan.

Aku mengangguk, seiring tubuh proporsionalnya yang menghilang di balik ruang ganti.

Kuposisikan tubuh menghadap pada photo-shoot area selama proses pengambilan gambar. Tampak kameramen mulai mengarahkan, kemudian diikuti oleh liukan dan senyuman manis Widi. Dalam hati aku berdecak kagum pada kelihaiannya memainkan berbagai pose.

Aku menghela napas panjang setelah sesi pemotretan berakhir. Ada rasa yang berbeda saat berjalan bersama seorang model sekelas dirinya. Menimbulkan kebanggaan tersendiri karena memilihku di antara banyaknya antrean kaum adam di luar sana.

Paduan kemeja kotak-kotak biru-navy dan jeans branded sudah cukup membuatku percaya diri bersisian dengannya, apalagi ditunjang oleh wajah yang ... tampan.

"Pulang?" tanyaku memastikan setelah kami akan meninggalkan studio.

"Aku mau dinner dulu sama kamu," jawabnya bergelayut manja di lengan kiriku.

Aroma parfum maskulin yang sengaja kusemprotkan pada bagian tertentu, aku yakin telah menghipnotis indra penciumannya hingga tak rela menjauh sepersekian inci.

***

"Bar, liat deh. Muka kamu yang ini unyu banget." Widi terus saja meracau, tapi tak begitu kutanggapi.

Sejak kami duduk berhadapan pada sebuah meja di restoran cepat saji sambil menunggu pesanan datang, ia mengajakku foto selfie. Dan ... tanpa sengaja mataku menangkap sosok yang sama sekali tak asing. Lagi-lagi, Rini bersama laki-laki itu.

"Bara!" Kali ini pekikan Widi lebih kencang hingga membuatku terkesiap, "Kamu kenapa?" Dia bertanya.

"Eh, Ng-gak."

Selera makanku benar-benar hilang saat memperjelas penglihatanku pada gadis di seberang sana. Benar, dia memang Rini.

"Kita pulang, yuk!"

Baper Queen [Terbit Buku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang