14. RINI Banyak Drama

48 8 2
                                    

Sabtu malam yang cerah, tapi tak serupa dengan suasana hatiku. Sudah satu minggu ini Bara menghindariku. Telepon tidak diangkat. Chat di WhatsApp hanya dua centang biru. Dibaca, tapi tidak pernah muncul pesan balasan.

Biasanya malam minggu begini kami pergi kencan berdua. Jalan-jalan, makan, atau nonton film terbaru yang sedang tayang di XXI. Mungkin para jomlo di luar sana akan bersuka cita jika melihat kondisiku sekarang. Status punya pacar tapi tak ada yang datang.

Kasihan.

"Anak gadis kenapa ngelamun?" tanya mama saat masuk ke kamarku. Feeling-nya sebagai seorang ibu pastilah berkata kalau ada sesuatu yang tidak beres dari putrinya.

"Ga apa-apa." Aku mengelak, padahal mataku sudah berkaca-kaca. Ingin menangis rasanya, tapi malu.

"Bara ke mana? Kok ga pernah datang?" Mama melirik. Aku tak berani menatapnya, bisa tumpah air mata.

Ada banyak hal tentang Bara yang tak bisa aku ceritakan kepada mama mengenai hubungan kami. Selama ini juga kami tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas. Aku bisa menjaga diri. Bara juga menghormatiku sebagai seorang perempuan.

Mencintai itu menjaga hingga halal, bukan merusak. Itu katanya.

Itulah yang membuat aku semakin sayang kepadanya. Dia benar-benar melindungiku.

"Sibuk, Ma," jawabku pendek.

"Sudah mau sidang?" Mama duduk di sebelahku. Aku menoleh dan menatapnya lama. Ingin rasanya aku memeluk mama dan menceritakan semuanya, tapi malu. Biarlah aku simpan sendiri laraku hingga nanti pulih seperti sedia kala seiring berjalannya waktu.

"Belum, lagi persiapan katanya. Cuma ya itu, ga mau diganggu. Biar fokus." Aku berbohong.

"Baguslah. Cepat selesai kan jadi bisa cepat dapat kerja. Terus ngelamar anak mama yang cantik ini." Mama mencubit pipiku.

Aku tersipu malu. Saat ini tak berharap lagi padanya, mengingat sikapnya yang seperti itu.

"Dia masih nulis buku ... apa gitu?" tanya mama.

"Masih, tapi kayaknya sekarang ke skripsi dulu," jawabku singkat. Berharap mama tak bertanya banyak hal karena selama satu minggu ini, aku tidak tahu apa saja aktivitasnya di luar sana. Kami benar-benar lost contact. Bara tidak memblokir nomorku, hanya dia tidak merespons semua pesan dan panggilan.

Aku juga tidak mau mengejarnya. Cukuplah diam dan menunggu dia memberi keputusan tentang hubungan kami kelak. Tapi, tentu saja aku tetap memantaunya lewat media sosial. Dia kan kekasihku, masa aku tidak boleh rindu?

"Kalian berantem, ya?"

Pertanyaan mama barusan telak menohok hati.

"Enggak." Aku membuang muka, berpura-pura membuka ponsel dan melihat si aplikasi biru.

"Laki-laki emang gitu. Biarin aja, nanti ada masanya dia kembali. Ga usah dikejar," bisik mama sebelum keluar dari kamarku.

Aku membenamkan wajah di balik bantal. Rasanya ingin berteriak kencang.

Gak boleh nangis.

Gak boleh sedih.

Aku kembali membuka akunku, melanjutkan misi memata-matai mereka. Untunglah tidak ada yang curiga. Snow White, nama fake pembawa berkah.

Tanganku me-scroll ke bawah melihat status apa saja yang posting teman-teman hari ini. Selain Bara dan Widi, aku meng-add beberapa akun penulis terkenal lainnya. Membaca tulisan mereka sedikit melegakan rasa sesak hati yang tak kunjung hilang.

Mataku terbelalak saat melihat status terbaru Widi Ayu.

-Ditemenin sama someone special- lengkap dengan keterangan, was check-in di salah satu lokasi yang alamatnya tak jauh dari sini.

Dan dia men-tag akun Bara.

Dadaku berdenyut sakit. Aku langsung mengambil tas dan keluar kamar, hendak pergi ke tempat itu. Ingin memastikan apakah benar mereka ada di sana, atau cuma akal-akalan wanita itu untuk mencari sensasi.

Bisa saja, kan, dia cuma ingin menarik perhatian? Mungkin hidupnya kesepian karena itulah sibuk mencari sensasi. Kehidupan model sepertinya memang penuh dengan berbagai macam intrik supaya tetap eksis di media.

"Mau ke mana?" tanya mama saat aku berpamitan.

"Ada perlu bentar. Pergi dulu ya, Ma." Aku berjalan ke depan menunggu taksi yang datang menjemput.

Sampai di sana aku melihat-lihat sekeliling. Studio foto ini luas. Letaknya di lantai tiga sebuah mall yang baru diresmikan beberapa bulan ini.

Sedikit ragu saat masuk ke dalamnya.

"Cari siapa, Mbak?" tanya seseorang di depan.

"Bara," jawabku.

"Ga ada yang namanya Bara di sini," katanya.

Oh, aku jadi teringat sesuatu.

"Widi. Widi Ayu," kataku dengan hati berdebar. Semoga kali ini benar.

"Neng Widi di dalam. Lagi take foto." Dia menunjuk sebuah ruangan.

Aku berjalan menuju ruangan itu. Berdiri cukup lama di depannya. Ingin masuk tapi tak punya nyali. Lagi pula tidak ada kepentingan apa pun di sini, selain untuk menuntaskan rasa penasaran. Bisa diusir sama mereka.

Aku mendorong pintu yang tidak terkunci, mengintip dari balik celah. Tampak seorang wanita cantik sedang meliukkan body seksinya dengan berbagai macam gaya.

Dia memang cantik. Aku mengakui hal itu. Seperti upik abu dan putri cantik bila aku dibandingkan dengannya.

Lalu mataku bergerak melihat ke sudut. Ada seorang lelaki yang cukup familiar duduk di sana sedang menunggu. Itu, kan?

Itu Bara.

Benar, itu Bara!

Dia melambaikan tangan saat melihat gadis itu, sesekali tertawa senang saat melihat si fotografer mengarahkan gaya.

Ternyata selama ini dia menghindariku karena alasan ini? Kenapa tidak bilang kalau sudah bosan? Lebih baik kami berpisah daripada dia bermain di belakang.

Aku masih di posisi yang sama saat Widi berjalan menuju Bara dan memeluknya tanpa canggung. Seketika itulah air mataku luruh. Sakit sekali rasanya hingga aku tak sanggup berbicara.

Setengah berlari aku keluar dari tempat itu. Tak kuperdulikan pandangan orang-orang di sekitar.

Aku duduk di sebuah kursi di depan sebuah restoran, terisak-isak dan menahan sesak. Tangisku terhenti saat ada sesuatu yang menarik rambutku.

"Eh, Pony. Ngapain lo di sini?"

Aku mendongak dan mendapati bahwa si pelaku adalah dia. Si Gembel.

"Engga apa-apa." Kuusap air mata yang menetes. Malu. Dalam keadaan begini, kenapa harus ketemu dia lagi coba?

"Lo kenapa nangis?" Dia bertanya.

"Siapa yang nangis?" jawabku.

"Hilih."

"Apaan, sih?"

"Cengeng."

Dia mengejekku. Aku tertunduk malu. Sepertinya bekas tangisan tadi masih terlihat.

"Udah makan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Kuy makan!" Dia mengajakku masuk ke dalam.

Aku menolak.

"Gue udah booking tempat. Tapi ga ada yang nemenin. Kuy, lah!"

Aku menggeleng. Lagi.

"Dah, ikut aja!" Dia menarik lenganku. Aku menyentaknya. Dasar tidak sopan!

Aku mengikutinya masuk ke dalam. Kami berdua duduk berhadapan. Dia menyodorkan daftar menu dan memintaku memilih mana yang disukai.

Aku membolak-balik setiap halaman dan melihat mana yang cocok di lidah. Semuanya menggugah selera.

"Aku pesen yang ini," kataku menunjuk sebuah gambar, dan iba-tiba menjadi speechless saat melihat dia tersenyum.

Si Gembel ini kenapa, ya?

Mungkinkah dia?

Baper Queen [Terbit Buku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang